Dengan berbagai kegiatan itu, menulis, bikin kegiatan seni dan olahraga, jadi tim manajer Universitas Andalas ke berbagai kota, hingga membuat majalah kampus yang kami namakan Fenomena, ada satu lagi kegiatan yang saya suka. Riset dan penelitian ke lapangan.
Tapi, saya tidak pernah diajak. Akhirnya, saya nekad menawarkan diri kepada dosen saya. Saya mulai dengan menjadi interviewer alias pewawancara, untuk mengumpulkan data. Ternyata, tidak mudah mewawancarai orang, apalagi orang desa. Mereka selalu curiga.
Dari sekian banyak teman seangkatan, saya sendiri yang memilih spesialisasi sosiologi politik. Sering saya kuliah sendiri saja. Beberapa kali, saya diikutkan dalam tim penelitian. Honornya lumayan.
Ternyata, jadi penulis freelance, aktivis kampus menjadi beban tersendiri. Saya merasa, diincar para dosen. Seolah ingin tahu, sampai dimana kemampuan saya. Saya mulai berani punya cita-cita. Cita-cita saya semasa kuliah ada empat. Jadi konsultan di perusahaan asing, peneliti, dosen dan wartawan. Saya diskusikan dengan dosen penasehat akademik saya. Dia mendukung saya.
Suatu hari, seorang oknum pejabat kampus bertanya kepada saya, apa yang bisa dia bantu. Saya jawab, saya suka penelitian. Siapa tahu, ada proyek penelitian yang bisa saya kerjakan. Bapak itu memang memberi saya tugas penelitian dan mengumpulkan data ke lapangan. Ternyata, belakangan saya baru tahu, data penelitian itu untuk tesis S2 selingkuhannya. Sialan!
Masalah datang di tahun-tahun terakhir kuliah saya. Selain asyik dengan kegiatan kampus, saya mengerjakan skripsi terlalu lama. Hampir dua tahun. Satu persatu, teman seangkatan diwisuda. Saya? Masih begitu-begitu saja. Malah, saya bekerja sambilan di sebuah tabloid lokal sebagai wartawan.
Tabloid ini mengulas masalah adat dan budaya serta pemerintahan di Sumatera Barat. Jangan coba-coba tulisan itu berupa kritikan. Tidak bakal diterbitkan. Sebab, pembiayaan tabloid yang berkantor di jalan protokol itu, dari Pemda Sumbar. Setelah beberapa bulan bekerja, honor saya mau dinaikkan. Saya memilih berhenti dan keluar, setelah saya akhirnya di wisuda.
Tapi, di kantor tabloid inilah saya berkenalan dengan seorang mahasiswa program doktoral yang kuliah di Flinders University Australia dan bekerja di LIPI. Namanya Syarief Hidayat. Ia mengajak saya main ke kosannya. Ternyata, ia sedang melakukan penelitian untuk disertasinya di Sumatera Barat tentang pembangunan Padang Bypass dan Bukittinggi Bypass. Ia menawari saya menjadi asisten penelitiannya.
‘’Kalau Mas mengajak saya karena tidak bisa berbahasa Minang, saya tidak mau. Tapi, kalau saya diajarkan bagaimana seorang peneliti melakukan tugasnya, saya mau,’’ kata saya.
Dia kaget. Tampak tersinggung. ‘’Saya sudah mengamati Anda satu minggu. Ada profesor teman saya menawari empat mahasiswanya membantu saya. Saya pilih Anda,’’ tukasnya. Sejak itu, saya membantu menjadi asisten peneliti.
Tugas saya, mewawancarai narasumber, merekam dan mencatat hasilnya. Tentu saya harus mempelajari kuisioner dan daftar pertanyaannya. Yang membuat saya jengkel, hasil transkrip wawancara dari kaset tape recorder kecil itu, sudah saya tulis. Bolak-balik. Eh, Mas Hidayat hanya memberi skor 10 persen. Saya marah.
‘’Anda jangan marah. Umumnya, orang berbohong ketika pertama kali diwawancarai. Perhatikan bahasa tubuhnya. Kalau dia menggaruk-garuk kepala dan berkata, ooh sebenarnya…Nah, itu baru mau bicara jujur,’’ kata Syarief Hidayat. Wah, ini ilmu baru buat saya.
Berbeda dengan mahasiswa Indonesia, ia menjual mobilnya untuk biaya penelitian disertasinya. Saya ikut dalam penelitian ini selama 7 bulan lebih. Kami naik motor, ketemu ninik mamak, warga dan narasumber lainnya. Penelitiannya tentang pembangunan jalan Padang Bypass dan Bukittinggi Bypass dalam perspektif ekonomi politik.Jalan ini dibangun pada tahun 1993 dan memiliki panjang 27 kilometer. Saat perencanaan pembangunan jalan Bypass Padang, tanah selebar 200 meter dari Simpang Duku hingga Simpang Lubuk Begalung disiapkan. Empat puluh meter digunakan untuk jalan. Sedangkan 80 meter di kiri dan kanan jalur 40 meter digunakan sebagai tempat konsolidasi bagi tanah warga yang terkena jalan Bypass di jalur empat puluh meter tersebut.
Sesuai kesepakatan semula dengan masyarakat pemilik lahan, 30 persen lahannya disumbangkan untuk pembangunan jalan. Sedangkan 70 persen sisanya dikembalikan kepadanya dengan cara konsolidasi tanah perkotaan. Dari penelitian itu terungkap, cara-cara dan trik yang digunakan untuk membujuk ninik mamak, terjadinya perseteruan antara paman dan keponakan karena nilai lahan di jalan bypass meningkat.
Ternyata, banyak juga pejabat yang mengkapling-kapling tanah rakyat, di lokasi strategis. Penelitiannya membandingkan antara Padang Bypass dan Bukittinggi Bypass, yang gagal dilaksanakan karena penolakan masyarakat yang sangat kuat.
Saat penelitian di Bukittinggi, Mas Hidayat tiba-tiba sakit. Ia demam tinggi. Saya diminta mengantarkannya ke rumah sakit tentara, tak jauh dari penginapan kami. Ternyata, dia kena amandel. Kata dokter, harus dibuang. Lalu bertanya, siapa saudara pasiennya. ‘’Itu, saudara saya,’’ kata Mas Hidayat, sambil menunjuk saya, yang termangu di pintu. Operasi amandel dilakukan sambil duduk di kursi. Setelah itu, Mas Hidayat makan sate!
Setelah proses pengumpulan data selesai, saya dan Mas Hidayat pun berpisah. Ia kembali ke Australia. Ada kata-katanya yang saya ingat sebelum berangkat. ‘’Kalau Anda mau sukses, keluarlah dari Sumatera Barat,’’ katanya. Belakangan, sarannya saya ikuti.
Karena malas, sibuk cari uang, sibuk organisasi, sibuk bikin skripsi saya baru tamat akhir tahun 1995. Saya menulis skripsi tentang Kamar Dagang dan Industri Indonesia, organisasi pengusaha yang di luar negeri dikenal sebagai Chamber of Commerce. Saya merasa, seperti dikeroyok dosen penguji. Akhirnya, saya tamat juga. Praktis, saya kuliah selama 7,5 tahun!
Tapi setidaknya, anak INS ini bisa juga memberi warna Universitas Andalas. Dua kali saya dapat beasiswa, Indek Prestasi juga tak jelek-jelek amat. Proses belajar menulis selama kuliah mengantarkan saya masuk ke dunia jurnalistik. (bersambung)