By Socrates – Awalnya, Batam adalah pulau yang tidak dikenal banyak orang. Yang ada hanya beberapa perkampungan nelayan dan gubuk reot dan pelantar kayu. Penduduknya, hanya 6.000 jiwa dan rata-rata nelayan.Tapi kini, Batam menjelma menjadi kawasan industri.
Dibalik gemerlapan itu, rumah liar (ruli) tumbuh bak jamur dimusim hujan. Tak ada keterangan resmi, sejak kapan ruli menghiasi pulau yang disulap menjadi kawasan industri ini. Namun sejumlah kawasan kini jadi perkampungan ruli.
Disebut ruli lantaran memang statusnya liar. Pasalnya, setiap jengkal tanah di pulau ini dikuasai Otorita Batam (OB) yang kini berganti nama menjadi Badan Pengusahaan Batam (BP Batam). Namun, sekadar tempat berteduh dari hujan dan panas, ruli-ruli terus bermunculan disana-sini.
Rumah liar dibangun dimana suka. Bisa dilereng-lereng bukit, di sekitar kawasan industri, di dekat perumahan mewah, di dalam hutan atau malah disekitar waduk air bersih. Wajah pulau ini lantas menjadi bopeng-bopeng karena ruli.
Seperti namanya, ruli memang dibangun seadanya. Bisa dari kayu-kayu dan papan bekas atau kayu dari sisa-sisa bangunan bedeng proyek. Malah, dikayu dan papan itu masih melekat semen bercampur pasir yang mengeras. Tapi ada pula dari triplek murahan.
Setelah tiang dipancang dan dipasangi dinding seadanya, untuk atapnya warga lebih senang menggunakan atap getah, yakni campuran karet dan kertas yang cukup kuat menahan hujan. Namun kalau dicolok pakai jari tengah, langsung tembus. Harganya murah dan bisa dibeli pergulungan untuk menjadi atap ruli.
“Dulu, kalau membangun ruli mesti malam hari. Sebab, kalau tidak bakal segera dirubuhkan Ditpam Otorita Batam. Jadi, membuat ruli harus buru-buru,” kata seorang warga yang tinggal di ruli di kawasan Bengkong.
Memang, warga paham betul yang namanya rumah liar dilarang keras. Namun mereka butuh tempat berteduh. Diam-diam, ruli terus bermunculan diberbagai lokasi. Pesatnya pertumbuhan rumah berstatus liar ini berkaitan dengan alasan psikologis, sosial dan ekonomis.
Antara lain, umumnya para pendatang ini hanya berniat sementara tinggal di Batam. Karena sementara itulah, ya tidak apa-apa tinggal diruli. “Untuk apa tinggal di rumah bagus. Toh, kita hanya sementara di Batam. Tak ada niat untuk selamanya disini,” kata ayah seorang anak yang tinggal di ruli Tanjungpiayu.
Selain itu, para pendatang yang umumnya berasal dari desa ini, merasa “nyaman” tinggal di perkampungan ruli. Sebab, mereka masih bisa tinggal mengelompok dengan orang sekampung dan merasa senasib dan sepenanggungan. Maka, tidak heran warga bertetangga saling kenal akrab dan berasal dari satu daerah.
Secara ekonomis, warga memang tidak sanggup membeli rumah yang sederhana sekalipun. Sebab, harganya tidak terjangkau oleh kantong mereka sehingga warga tetap bertahan di ruli meski dianggap kumuh dan tidak sehat.
Jangankan mencicil, untuk membayar booking fee yang berkisar antara Rp500 ribu sampai Rp1 juta, warga tidak sanggup. Apalagi, sejak dihajar badai krisis, memiliki rumah sendiri makin jauh dari mimpi warga yang selama ini tinggal di ruli dan beranak pinak disana.
Semula, para pendatang ini hanya berniat sementara tinggal di Batam, sampai mereka berhasil. Tapi ternyata, sadar tidak sadar mereka sudah bertahun-tahun tinggal dirumah liar itu. Apalagi, ukuran keberhasilan juga tidak jelas. Apakah memiliki uang dalam jumlah tertentu, punya barang-barang mewah seperti televisi, kulkas dan mobil. Ruli tumbuh seperti cendawan di musim hujan. Begitu muncul satu rumah liar, puluhan, ratusan bahkan ribuan rumah liar segera menyusul. Warga tidak segan membakar hutan agar bisa mendirikan ruli.
Kemiskinan Perkotaan
Batam kini menjadi pulau ruli. Meski BP Batam melarang keras warga membangun ruli, tapi tak bisa dicegah. Apalagi, saat ini sudah menjadi penyakit kronis pulau industri ini. Maraknya rumah liar dilihat sebagai hubungan sebab akibat percepatan pembangunan di Batam. Atau, bahasa pejabatnya akses pembangunan.
Tahun 70-an penduduk Batam hanya sekitar 6.000 jiwa. Para pendatang jelas mencari nafkah serta mengadu nasib di Batam. Mereka bekerja di proyek-proyek atau pabrik. Namun ternyata, percepatan pembangunan itu tidak selamanya kencang. Mereka yang terlanjur datang kesini, merasa tanggung untuk balik ke kampung. Apalagi, ongkos ke kampung tidak sedikit lantaran harus menyeberang laut. Batam lantas menjadi kota kaum marginal.
Pulau Batam yang selama ini sebagai pulau “mati”, tiba-tiba bangkit, bersolek dan mempercantik diri dengan proses industrilisasi. Di satu sisi bisa meningkatkan nilai tambah dengan cepat, namun disisi lain menciptakan jurang dan kesenjangan pendapatan yang makin dalam.
Namun demikian, kini makin disadari bahwa industrilisasi juga melahirkan konsekuensi lain seperti eksploitasi manusia, keterasingan dan fenomena kemiskinan yang tidka saja menjadi potret kaum papa yang dengan mudah dikenali seperti pendapatan, harapan hidup, sanitasi, kesejahteraan dan sebagainya.
Bagi mereka yang beruntung, bisa saja manikmati gaya hidup kelas atas, konsumtif dan produktif dalam artian ekonomis. Sementara yang lain, tercampak dalam ketakberdayaan. Inilah potret masa pinggiran (pheri-pherial) yang tidak mampu masuk ke dalam kelas atas, namun tidak sudi digolongkan sebagai kelas bawah. Kelompok marginal itu adalah mereka yang tinggal di rumah-rumah liar yang berserakan di Batam.
Meski belum tergolong sebagai kota besar, namun kemiskinan di Batam menjurus seperti yang terjadi di kota-kota yang sedang bekembang lainnya. Tingkat pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi yang umumnya diakibatkan arus migrasi., usia penduduk produktif dan didominasi kaum muda, pedagang kaki lima merebak, pelacuran, gelandangan dan pengemis.
Akibatnya, ketersediaan fasilitas perkotaan seperti sekolah, rumah sakit, listrik, transportasi harus selalu berlomba dengan pertambahan penduduk. Kawasan kumuh campur aduk dengan pemukiman elit. Kesenjangan sosial makin lebar.
Pemukiman liar (squatter settlement) atau yang disebut rumah liar aias ruli., kerap memiliki konotasi rendah dan cenderung diremehkan sebagai tempat pemukiman orang berpenghasilan rendah dan sebagai pemukiman marginal.
Namun melihat keberadaan ruli yang tumbuh tidak beraturan, spontan dan “tidak resmi” dapat disebut marginal lantaran tidak ada campur tangan pemerintah (kecuali dilihat sebagai masalah) namun ternyata sangat penting dalam perkembangan sebuah kota.
Secara umum, harus diakui bahwa penghuni rumah liar tidak mampu memiliki rumah yang lebih layak dengan alasan ketidakberdayaan ekonomis. Lantaran makin meruyaknya rumah liar, pihak Otorita Batam merasa perlu membentuk Tim Penerbitan Pemukiman Penduduk (TP3) yang salah satu tugas pokoknya adalah menertibkan rumah liar.
Perkembangan rumah liar memang sudah dalam kondisi mengkhawatirkan dan tumbuh di berbagai lokasi seperti areal hutan lindung, daerah resapan air, jalur hijau serta tanah miliki investor. Menurut Tim TP3, kondisi seperti ini jelas-jelas mengganggu, merusak lingkungan hidup serta mengganggu ketertiban dan keamanan Batam. Lalu mau diapakan?
Juragan dan Beking Ruli
Menangguk di air keruh. Barangkali, perumpamaan ini pas dengan orang-orang yang mencari keuntungan dengan maraknya rumah liar. Mereka lantas membangun ruli dan menjadikannya komoditi bisnis. Padahal, sebenarnya merekalah yang mesti melarang dibangunnya ruli. Naluri bisnis oknum-oknum ini yang bekerja di instansi resmi seperti Otorita Batam, tergerak melihat kenyataan besarnya kebutuhan para pendatang terhadap tempat tinggal. Biar di ruli asal bisa berteduh dari hujan dan panas. Maka, jadilah oknum-oknum ini juragan ruli yang tinggal memetik uang setiap bulan.
Pusing memikirkan masalah ruli, Otorita Batam lantas membentuk sebuah lembaga yang bernama Tim Penertiban Pemukiman Penduduk (TP3) yang dipimpin oleh Brigjen (Mar) Eric Wotulo. Ketika ia baru datang ke Batam empat tahun lalu, data yang diterimanya tentang ruli jumlahnya 20.000 unit.
“Sepanjang tahun 1997 saya berusaha keras dan sebanyak 7.000 sampai 8.000 yang berhasil dipindahkan. Secara matematis, mestinya kan tinggal 13.000 unit. Tetapi saat kita data kembali, jumlahnya malah jadi 25.000. ini kan aneh. Ternyata teori balon bukan hanya kita menerima serpihan balon yang pecah dari Singapura, tetapi juga berlaku pada rumah liar. Pencet disini, mengelembung disana,” ujar Eric dalam sebuah wawancara.
Yang lebih mengherankan, ada warga ruli sudah dipindahkan dan kawasan itu bersih tetapi belakangan muncul lagi di tempat yang sama. Padahal, Otorita Batam sudah punya konsep bahwa warga ruli dipindahkan ke lokasi berukuran 6 m x 6 m. Maksud pemerintah adalah supaya mereka tidak betah dan diharapkan agar mereka punya animo pindah ke RS/RSS yang disiapkan pemerintah.
Tiap harapan itu sirna karena warga ruli tidak mampu membayar uang muka RSS. Lalu pada tahun 1997 ada kebijaksanaan bahwa penghuni rumah-rumah bermasalah ini dipindahkan ke lokasi yang sudah di tata. Artinya, sudah ada penataan, ada jalan lingkungan, jalan utama sehingga fasilitas sosial dan umumnya tersedia seperti yang dilakukan di Kabil.
Meski acara tersirat dikatakan bahwa maraknya ruli lantaran kesalahan masa lalu, menurut Eric, menjamurnya ruli merupakan tanggung jawab bersama. “Kalau misalnya kita bersama-sama bertanggung jawab soal penanganan rumah liar ini, saya kira bisa diatasi. Kan bisa saja mereka perintahkan bongkar. Apalagi kan Batam tidak mungkin saya awasi dengan mata kepala saya sendiri,” ujarnya.
“Kalau kita katakan gagal menangani ruli, pemindahan rumah liar bukannya tidak direncanakan secara matang, tetapi karena adanya perubahan-perubahan kebijakan soal penanganan rumah liar. Contohnya di Jawa, kalau rumah liar dibongkar ya bongkar, tidak ada ganti ruginya. Bangun lagi ya dibongkar lagi. Tapi disini kan tidak,” papar Eric.
Kebijakan memberikan kapling pada warga ruli, juga menjadi bumerang bagi Otorita Batam. Akibatnya, masyarakat dari daerah lain beranggapan bahwa kalau bangun rumah liar disini, dapat kapling dan disalurkan pemerintah ke kapling siap bangun dengan UWTO hanya Rp360 ribu. Itupun di cicil.
Inilah yang membuka peluang bagi oknum tertentu menjadi juragan ruli dan berbisnis ruli karena tahu ada jatah kapling. Ini terungkap dengan adanya kasus-kasus kebakaran, tanah longsor. Setelah didata kembali, ternyata bukan rumah orang yang tinggal di ruli dan hanya mengontrakan. Nilainya bervariasi tergantung besarnya ruangan.
Contohnya, rumah yang dibangun seijin RT. Kalau mau, rumah sebesar ini bayarRp200 ribu. Mau lebih besar lagi bayar Rp400 ribu. “Yang menentukan RT itu, silakan kamu disitu, disana. Ada yang sudah diberikan lokasi dengan catatan dalam tiga bulan dibangun, ternyata yang membangun bukan mereka dan tanah itu sudah diperjualbelikan,” ujar Eric Wotulo.
Ruli? Sekarang Reformasi !
Konon, pada awal berkembangnya rumah liar, tindakan tegas di ambil Otorita Batam sebagai pengusaha pulau ini. Drama penggusuran silih berganti. Rumah-rumah liar itu jadi amat rapuh ketika disodok bulldozer. Jerit tangis pemiliki ruli yang tergusur tidak membuat alat-alat berat itu jatuh kasihan. Rumah-rumah liar itu tumbang dan rata dengan tanah.
“Dulu, peraturan di Batam sangat ketat. Membangun ruli harus sembunyi-sembunyi dimalam hari. Soalnya, orang takut sama Satpam Otorita Batam,” cerita seorang warga Bengkong yang sudah belasan tahun di Batam
Fakta sudah berbicara, rumah liar ini terus bertambah. Pada tahun 1996, jumlah rumah liar sudah mencapai 20.000 unit. Meski tahun 1997 sudah berhasil dipindahkan sebanyak 800 unit, eh bukannya berkurang, ketika didata kembali jumlahnya menjadi 25.000 unit.
Lalu, pada akhir tahun 1998, jumlahnya meningkat pesat menjadi 25.964 unit yang tersebar di 65 lokasi. Kawasan yang dijadikan lokasi ruli yang berjumlah diatas 500 unit tersebar di Batu Merah, Bukit Girang, Tanjungsengkuang, Seraya, Batu Besar, Pandan Wangi, Sei Beduk, Depan Batamindo, Cunting, Tiban Kampung, Batu Batam dan Baloi Center. Selebihnya berkisar antara 55 sampai 450 unit.
Setahun kemudian, jumlah ruli yang didata Pemko Batam malah melonjak lagi. Jumlahnya mencapai 37.500 unit. Dan saat ini, jumlahnya diperkirakan mencapai 40.000 unit yang tersebar di 65 lokasi. Malah para pendatang tak takut-takut lagi membangun ruli di kawasan berbahaya seperti tepi waduk yang nota bene menjadi sumber air bersih warga Batam.
Tanyalah pada orang-orang yang membangun ruli saat ini. “Kenapa mesti takut? Sekarang kan zaman reformasi,” ujar seorang wanita yang sedang memancang tiang rumah, ketus. Oala, reformasi diartikan ya bebas membangun ruli. Padahal, salah satu agenda reformasi adalah menegakkan hukum.
Batam kini mengalami zaman kebangkitan (the rise capital) dengan bertambah-nya kawasan-kawasan industri dan gedung-gedung sebagai pusat perbelanjaan, bioskop, bar dan diskotek serta real estate. Tapi juga ruli. Malah, saking banyaknya ruli, warga tak malu-malu lagi. “Saya tinggal di ruli estate,” kata seorang cewek tersipu.
Entah berapa banyak tulisan yang bersumber dari problematika rumah liar. Dan diam-diam, para akademikus dan peneliti, telah menjadikan rumah liar sebagai obyek penelitiannya, baik peneliti lokal maupun asing. Salah satunya adalah hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek) serta Dewan Riset Nasional tentang kesenjangan sosial budaya di kalangan masyarakat industri Riau Kepulauan dan Aceh Utara.
Pemukiman liar (squatter settlement ) atau yang disebut rumah liar alias ruli, kerap memiliki konotasi rendah dan cenderung diremehkan sebagai tempat pemukiman orang berpenghasilan rendah. Namun jangan salah, tak sedikit warga ruli yang sebenarnya sudah mampu punya rumah sendiri.
Banyak kalangan berpendapat, Otorita Batam tak akan mampu menangani masalah rumah liar ini. Sebab, selain jumlahnya yang sudah terlalu banyak, setiap ganti pimpinan atau pejabat, berganti pula kebijaksanaan.
Yang pusing, tentu saja pejabat yang menggantikan lantaran harus mengikis “dosa warisan” pejabat lama sehingga Batam amburadul begini. Lalu, kemana oknum pejabat yang dulu ikut membuat wajah pulau ini babak belur? Besar kemungkinan mereka telah lupa atau sedang menikmati masa tuanya sambil ongkang-ongkang kaki di kota lain.
Resmikan sebagai Kota Ruli
Masalah pemukiman liar atau yang disebut rumah liar alias ruli, memang kompleks. Di rumah liar ada masalah kemiskinan di perkotaan, arus migrasi yang tak terkendali, lemahnya penegakan hukum serta menjadi komoditas politik yang bisa dimobilisasi untuk kepentingan tertentu. Ketika Ketua Otorita Batam Ismeth Abdullah datang dengan konsep social development meski bukan formula ajaib mengentaskan ruli, namun menjadi angin segar bagi masyarakat kelas bawah. Apalagi, angin reformasi bertiup makin kencang.
Namun menyelesaikan masalah yang sudah kronis, ada juragan dan beking ruli, kemiskinan kota yang menjadi-jadi, kebijakan yang tak konsisten dan serbuan pendatang, memang tidak mudah menyelesaikan masalah ruli. Konsepnya sudah bagus, namun pelaksanaannya tak becus.
Orang akan segera melihat kinerja Tim Penertiban Pemukiman Penduduk (TP3). Padaha, tim ini beranggotakan beberapa pejabat yang diharapkan melakukan koordinasi dalam kegiatannya. Namun yang terjadi, koordinasi tidak semudah mengucapkannya.
Program pembangunan sosial (sosial development) yang digagas Otorita Batam dalam penanggulangan rumah liar, tampaknya kalah cepat dengan pertumbuhan ruli itu sendiri. Peneliti dari Swedia Johan Lindquist pernah menyarankan, agar puluhan ribu ruli ini diresmikan saja karena sudah sulit mengatasinya.
Mungkin, itu pula sebabnya Otorita Batam memutihkan alias meresmikan rumah liar di Tiban Kampung, kalaupun mereka tinggal di ruli, tetapi merupakan perkampungan yang sehat dan bertata dengan baik. Cukup banyak program pemukiman seperti program perbaikan kampung yang dilakukan di berbagai kota yang kumuh dan padat dan akhirnya menjadi pemukiman yang sehat.
Perubahan sikap Otorita Batam yang selama ini selalu menganak-emaskan investor asing, sudah saatnya kini kemiskinan orang-orang miskin seperti yang tinggal di ruli. “Otorita Batam tidak akan main gusur sembarangan karena sekarang bukan eranya main gusur,” kata Direktur Pemukiman dan Pengembangan Sosial Kota Batam Mustofa Wijaya, saat itu.
Batam merupakan kota baru yang cepat berkembang dan struktur sosial pendatang tidak sama dengan daerah asalnya. Akibatnya, orang cuek dan hanya memikirkan dirinya sendiri. Orang tak perduli karena cari duit untuk diri sendiri. Menilik sejarahnya, tampaknya dalam perencanaan Batam tidak memasukkan analisa dampak sosial sehingga masalah sosial jadi penyakit yang sulit diatasi, seperti ruli.
Batam yang dikembangkan menjadi sebuah kota dan tempat investasi asing, tetapi dampak sosial yang bisa diprediksi bakal muncul tidak diantisispasi sejak awal. Namun apa lacur, nasi sudah menjadi bubur. Masalah rumah liar makin memusingkan lantaran jumlahnya terus bertambah banyak.
Namun yang jelas, apapun alasannya, program social development harus menjadi prioritas. Otorita dan Pemda harus memikirkan dan melakukan pengentasan kemiskinan. Sekaligus membentuk struktur sosial yang lebih kuat. Ini merupakan pekerjaan besar yang butuh komitmen bersama dan tidak saling melempar tanggung jawab.
Antara lain, bagaimana menumbuhkan partisipasi sosial masyarakat untuk membangun dan mempunyai rasa memiliki bahwa Batam adalah kota kita semua, mengikis budaya aji mumpung para pejabat dan menganggap Batam hanya sebagai kota sementara.
Alangkah indahnya kota ini, ada rumah mewah dan ada rumah sederhana dan tidak liar, menjadi satu. Ini akan menjadi obyek wisata begi mereka yang terbiasa tinggal di hutan beton seperti Singapura. Yang penting adalah pembangun berkelanjutan dan mengutamakan manusianya.
Amsakar Achmad, yang kini Walikota Batam ex officio Kepala BP Batam, diharapkan memiliki solusi, mengatasi ruli. Sebab, selain sarjana Sosiologi, Amsakar kini juga seorang doktor ilmu pemerintahan. Tentu tidak cukup dengan retorika dan konsep belaka, tapi tindakan nyata. ***