By Socrates – Sungai adalah sumber kehidupan dan peradaban. Dari sungai, suatu kelompok berkembang, menjadi kampung, negeri dan bandar yang ramai. Agaknya, seperti itulah berkembangnya Sungai Carang, lalu meredup dan dilupakan orang. Bagaimana lika-liku festival ini dipersiapkan dalam tempo dua bulan dan diharapkan menjadi ikon baru Kepri di masa datang?.
Nama Sungai Carang nyaris dilupakan orang. Ada juga warga yang menyebut sungai ini Ulu Riau atau Riau Lama. Padahal, fakta dan bukti sejarah peran sungai yang melintasi Tanjungpinang itu, tak terbantahkan. Festival Sungai Carang berhasil mengingatkan orang peran strategis sungai ini di masa silam.
Selain tertera dalam peta Belanda, sampai hari ini, sungai itu masih menjadi tempat lalu lalang kapal barang, bongkar muat ikan sampai lalu lintas boat pancung kampung dari hulu hingga hilir sungai tersebut. Saya dan kawan-kawan dari Batam, baru tahu Sungai Carang saat diajak menyusuri sungai ini oleh Chairman Riau Pos Grup, Rida K Liamsi bersama sejarawan Aswandi Syahri, yang paham sejarah Sungai Carang.
Bagaimana agar nama Sungai Carang terangkat ke permukaan? Gagasannya adalah sebuah festival, yang meriah, semarak dan melibatkan masyarakat. Rapat-rapat pun digelar, baik di Batam maupun di Tanjungpinang. Selain festival ini belum pernah diselenggarakan, waktu sangat terbatas. Lima tenaga desain grafis segera bekerja menciptakan logo, yang mengalami revisi sampai 23 kali! Yang agak sulit, menerjemahkan gagasan besar itu secara kongkrit dalam bentuk kegiatan rangkaian festival.
Rangkaian kegiatan FSC diplot diawali dengan karnaval sungai, melukis 230 meter, membaca gurindam XII oleh 230 orang, pawai alegoris, parade drumband dan senam sehat dan ditutup dengan upacara peringatan hari jadi Tanjungpinang ke 230.
Sehingga, FSC perdana ini berlangsung selama tujuh hari. Karnaval sungai yang direncanakan diikuti 230 kapal, berubah menjadi 44 kapal. Namun, setiap kapal ada yang berisi 23 orang, ada yang berisi 10 orang sehingga total penumpang kapal 2 kali 230 orang, yakni kapal 10 kampung dan kapal bertema tokoh sejarah Melayu Riau.
Kapal utama, dipastikan ikut beberapa hari menjelang acara. Yakni sebuah kapal model phinisi kapasitas 400 ton milik pengusaha Tarempa. Kapal dengan merek dinding Kumala Indah itu, dihias menjadi kapal Bulang Linggi, yang membawa 10 pulut kuning dan 230 bunga telor, lambang harapan masa depan yang dikawal 44 mahasiswa sebagai simbol generasi masa depan. Kapal yang sandar di depan Pulau Bayan itu lalu dihias. Kayunya keras sehingga susah dipaku. Malah, pakunya jatuh ke laut.
Menghias 23 kapal sejarah juga tidak semudah yang dibayangkan. Selain angin cukup kuat, kapal bisa oleng karena hiasannya ketinggian. Yang menarik, warga Kampung Bulang bersemangat menghias kapal mereka, diiringi musik. Kami panitia, berdebar-debar, apakah karnaval sungai ini bisa terlaksana, sesuai rencana. Ratusan umbul-umbul sudah terpasang. Termasuk spanduk sepanjang 100 meter yang membentang di sisi kiri jembatan. Insiden kecil terjadi saat sekelompok orang yang tidak berkenan dengan acara itu, melarang memasang umbul-umbul.
Dari Kapal Hias, Helikopter dan Pesawat Tempur
Hari yang ditunggu pun datang. Satu demi satu, kapal hias datang. Meski formasi peserta pawai sudah ditentukan, tidak mudah mengatur kapal di sungai itu. Saya lalu naik perahu dayung, mencoba menyusun formasi pawai.
Rencananya, di depan ada kapal pandu yang menentukan kecepatan, kapal dari 10 kampung, lalu kapal sejarah dan diikuti kapal SAR dan kapal lainnya. Lantaran sebagian kapal muatannya ibu-ibu dan wanita, kesulitan datang saat mereka mau ke toilet. Untunglah, ditemukan solusinya. Ibu-ibu tadi dinaikkan ke kapal KPLP yang memang ada toiletnya, lalu kembali naik ke kapal hias.
Arus laut yang kuat sehingga makin sulit mengatur kapal peserta karnaval. Saat bersamaan, pilot helikopter AU yang membawa banner FCS menelepon, kapan harus terbang dan melintas di jembatan. Diusahakan, saat pawai sungai dilepas, heli terbang. Masalahnya, angin juga bertiup kencang. Yusuf Hidayat, satu-satunya fotografer yang ikut terbang di heli, mengaku pusing. Setelah para tetua adat menabur beras kuning, karnaval sungai pun dimulai. Saat bersamaan, helikopter dan pesawat Nomad TNI AU terbang rendah di permukaan sungai.
Dua mobil pemadam kebakaran, serentak menyemprotkan air sehingga menjadi konfigurasi lengkungan dari dua sisi sungai. Namun, musibah terjadi. Slang air berkekuatan tinggi itu terlepas sehingga mencelakakan seorang petugas pemadam kebakaran. Saya yang berdiri di atas kapal Citra Nusa sebagai kapal pandu, tak kuasa menahan rasa haru. Acara yang disiapkan siang malam itu, akhirnya terlaksana juga. Apalagi, menyaksikan ribuan orang berdiri melepas pawai dari jembatan Engku Putri.
Sebanyak 230 pelajar SD, SLTP dsn SMA menabuh kompang bertalu-talu. Masyarakat Tanjungpinang pun berbondong-bondong menyaksikan pawai sambil melambaikan tangan. Begitu pula anak buah kapal yang sandar di sepanjang sungai. Suasana sungguh kolosal. Saat kapal hias bergerak di bawah jembatan, helikopter pun melintas membawa banner dan pesawat tempur jenis Nomad terbang rendah di atas sungai.
Ternyata, tidak mudah mengatur pawai kapal hias itu. Selain arus dan angin yang kencang, jarak dari jembatan ke pelabuhan Sri Bintan Pura hanya 20 mil laut, sehingga perkiraan kapal merapat meleset. Padahal, sudah diagendakan ada prosesi mengarak pulut kuning dan bunga telor jam 14.00 sampai ke Gedung Daerah yang dikawal 44 mahasiswa.
Di pelabuhan, bakal disambut 23 pesilat dan barisan 230 anak SD berpakaian Melayu dengan bunga manggar. Meski saya sudah berteriak-teriak dengan mengaphone agar peserta pawai jangan terlalu cepat, sia-sia saja karena suara saya lenyap ditelan angin. Sinyal telepon pun hilang-hilang timbul.
Penampilan kapal hias dari kampung-kampung itu memang menarik dan warna- warni. Ribuan warga Tanjungpinang menyambut di tepi laut. Namun, perkiraan kedatangan lebih cepat dari rencana. Skenarionya, kapal hias merapat di Ocean Corner dan kapal utama di dermaga Sri Bintan Pura dan disambut 230 barisan anak SD berpakaian Melayu dengan bunga manggar. Namun, tak semua kapal hias bisa merapat karena ombak kuat dan angin kencang. Peserta memilih sandar di pelantar I.
Saat bersamaan, Bulang Linggi juga sudah datang, lebih cepat dari rencana semula. Satu-satunya cara, kapal utama jangan sandar dulu, menunggu rombongan penyambut siap. Saya menelepon Khairudin nahkoda Bulang Linggi, agar jangan merapat dulu. Kapal itu lalu berputar di depan Pulau Penyengat menunggu sesaat. Barulah setelah Gubernur datang, barisan bunga manggar dan pesilat siap, kapal pun merapat.
Bunga telor diarak turun kapal oleh 44 mahasiswa dengan gagah. Lalu, pesilat menyambut Gubernur sebelum melangkah ke Gedung Daerah. Barisan anak SD berpakaian Melayu dan memegang bunga mangar berwarna-warni, menambah semarak arak-arakan itu.
Bunga telor dan pulut kuning itu, lalu diserahkan Gubernur Kepri kepada perwakilan sepuluh kampung. Sore itu juga, secara simbolis dibuka pameran kuliner Melayu di Ocean Corner dan pameran dokumentasi sejarah perjuangan Raja Haji Fisabilillah di Anjung Cahaya.
Karnaval Sungai Carang lalu disambut oleh rangkaian kegiatan Semarak Tanjungpinang yang digelar Dinas Pariwisata Pemko Tanjungpinang dan Lentera 2014 yang ditajaDinas Pariwisata Pemprov Kepri. Mulai dari panggung kesenian, fashion carnaval hingga jodet Dangkong dari Lingga dan puncaknya sebanyak 5.000 lentera beterbangan di langit Tanjungpinang. Suasana Tanjungpinang sungguh semarak, dari pagi hingga malam detik-detik pergantian tahun baru 2014.
Hari kedua, dilanjutkan dengan karnaval melukis 230 meter oleh 230 orang pelajar se Tanjungpinang, bertema Sungai Carang dan sudut kota Tanjungpinang, dari pagi sampai sore. Lukisan itu lalu digulung dan diserahkan ke Kepala Musium Tanjungpinang. Ternyata, ada juga lukisan abstrak yang cukup bagus yang dihasilkan dan bagaimana pelajar mengekspresikan dirinya sebagai warga Tanjungpinang.
Hari ketiga, digelar acara membaca Gurindam XII oleh 230 pelajar yang tampil mengesankan. Yang menarik, ada yang membaca diiringi musik, sambil bermain congkak serta diiringi marawis. Gurindam yang sarat dengan pesan moral, tidak hanya sekedar teks, tapi bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Hari keempat, pawai alegoris perjuangan pahlawan nasional Raja Haji Fisabilillah yang diikuti ratusan mahasiswa se Tanjungpinang, juga berjalan meriah dan khidmat. Apalagi, saat bendera perang RHF yang mengalahkan belanda tanggal 6 Januari 230 tahun lalu dan kemudian diperingati sebagai hari jadi Kota Tanjungpinang dikibarkan, menimbulkan suasana haru dan patriotik. Parade drumband yang diikuti tujuh sekolah dengan jumlah peserta 450 orang, juga berlangsung meriah dan menarik perhatian warga Tanjungpinang. Atraksi paramotor membawa banner FSC di tepi laut, juga menjadi perhatian warga.
Malam penutupan FSC di hari keenam juga berlangsung semarak. Diawali dengan penampilan gurindam dari tiga sekolah, parade musik senja dan konser Sekolah Tinggi Seni Riau, membawakan lagu-lagu Melayu, tampil mengesankan. Diselingi dengan lelang foto yang dibawa model berpakaian unik, foto eksotisme Sungai Carang dibeli Gubernur Kepri, Divre Pekanbaru dan tamu dari Negeri Sembilan, Malaysia. Puncak acara penutupan ditandai dengan bersulang air selasih, minuman khas Melayu, tembakan meriam dan pistol suar yang memancarkan seberkas sinar merah ke langit Tanjungpinang oleh Wali Kota Tanjungpinang, Lis Darmansyah.
Hari keenam, Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan, larut dalam kegiatan senam sehat bersama ribuan warga Tanjungpinang. Lalu menanam secara simbolis 230 pohon pelindung di tepi laut, melepaskan 230 ekor merpati dan berdialog dengan ribuan mahasiswa tentang entrepreneurship, berkaitan dengan ulang tahun kota Tanjungpinang.
Meski persiapan hanya dua bulan, berkat kerjasama dengan Pemprov Kepri, Pemko Tanjungpinang dan Batampos Grup, serta ribuan pelajar dan masyarakat Tanjungpinang, Festival Sungai Carang berlangsung sukses dan meriah. Mimpi besar Chairman Riau pos Grup Rida K Liamsi, Gubernur Kepri HM Sani dan Wali Kota Tanjungpinang Lis Darmansyah, Kepri punya even kolosal yang menjunjung sejarah dan tradisi Melayu, akhirnya terwujud. Penulis novel Timeline Michael Crichton mengutip Edward Jonston menyebutkan, orang yang tidak tahu sejarah, berarti tidak tahu apa-apa.
Sungai Carang Cruise
Nama Sungai Carang kembali bergema dan gaungnya mulai terdengar ke seantero Kepulauan Riau, Riau hingga negeri jiran. Festival Sungai Carang selain direncanakan menjadi festival tahunan dan kalender pariwisata, lalu apa nilai tambahnya bagi Kepulauan Riau di masa datang?
Festival Sungai Carang sebagai event berbasis sejarah dan budaya Melayu, bertumpu pada partisipasi sosial. Mulai dari pelajar sampai mahasiswa hingga masyarakat luas. Peran sejarah Sungai Carang, eksistensi kerajaan Riau Lingga dan Johor, tokoh-tokoh sejarah yang menorehkan jejak dan kebesaran kebudayaan Melayu, mengobarkan semangat kemaritiman, berhasil membetot perhatian generasi muda.
Dalam catatan penggagas festival Sungai Carang Rida K Liamsi, setidaknya ada tujuh keberhasilan yang dicapai kegiatan ini. Yakni, berhasil membangkitkan semangat generasi muda mencintai dan melestarikan budaya Melayu dan mengobarkan semangat kemaritiman. Berhasil menjadi iven yang bersifat massal dan kolosal sebagai ikon baru pariwisata dan membuka peluang berkembangnya ekonomi kerakyatan.
Festival Sungai Carang mampu membangkitkan kebersamaan dan harmoni masyarakat serta berhasil membangun sistem informasi kepariwisataan yang lebih modern, dengan memanfaatkan teknologi multi media seperti website www.festivalsungaicarang.com , surat kabar, radio dan televisi hingga penyebaran brosur dan pengumuman melalui megaphone keliling kampung. Lagu Pulau Bintan pun menjadi offisial song festival ini.
Jumlah peserta cukup fantastis dan mampu melibatkan ribuan orang. Jumlah total pelajar dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi yang tercatat sebagai peserta aktif adalah sebanyak 1.780 orang. Dan jumlah masyarakat yang terlibat sebagai peserta sebanyak 600 orang. Sehingga total jumlah peserta Festival Sungai Carang mencapai 2.380 orang. Ini belum termasuk penonton dan masyarakat yang menyaksikan acara ini.
Setidaknya, bagi ribuan peserta itu tadi, nama Sungai Carang tersimpan dalam ingatan sebagai festival pertama yang digelar berlatar sejarah dan budaya. Setelah festival kolosal ini digelar, lalu apa berikutnya? Apakah hanya akan menjadi kalender wisata tahunan selama sepekan, lalu hari-hari berikutnya dilupakan?
Mari kita bayangkan ini, seperti dicetuskan Rida K Limasi, budayawan, seniman, wartawan dan usahawan yang dibesarkan di Tanjungpinang itu. Sebuah kapal wisata, berlayar mulai dari Anjung Cahaya sampai ke Kota Rebah, menikmati matahari senja, nyanyian hutan bakau, lalu singgah di restoran terapung menikmati juadah atau kuliner Melayu.
Penumpang kapal wisata itu, bisa turis domestik atau mancanegara, lalu diajak mengunjungi tapak sejarah Melayu, menyuguhkan diorama atau sinopsis kebersaran kerajaan Riau Lingga, yang memiliki akar sejarah sampai ke semenanjung Malaysia, mengunjungi pusat-pusat kuliner dan kota Tanjungpinang. Sehingga, ekonomi kreatif masyarakat Tanjungpinang bisa bergerak dan hidup.
Sejak awal, kerangka bisnis festival Sungai Carang sudah diangankan. Misalnya, mendorong ibu-ibu menjual makahan khas Melayu. Dengan modal terbatas, ibu-ibu rumah tangga didorong membuat 23 jenis makanan dan minuman khas Melayu. Pembelinya pun disiapkan, yakni ribuan pelajar yang diberi kupon belanja. Maka, saat festical Sungai Carang berlangsung, makanan khas yang jarang ada di pasaran, diserbu pengunjung yang ingin mencicipi.
Dari Batampos Grup sendiri, menyediakan paket iklan khusus yang hanya terbit selama seminggu. Seorang pengusaha yang memanfaatkan paket iklan khusus ini selama tiga hari berturut-turut mengatakan, dampak iklan tersebut luar biasa. ‘’Wah, saya tak menyangka. Telepon saya berdering terus melihat ilkan satu halaman berwarna itu. Selain harganya murah, pengaruhnya besar sekali,’’ katanya.
Panitia juga menyediakan beragam pernak-pernik Festival Sungai Carang. Mulai dari kaos, topi, payung, slayer, pin, hingga bendera yang dijual kepada masyarakat. Selain laku, ternyata ada warga Bandung yang sedang berlibur di Tanjungpinang memborong kaos, topi dan payung. ‘’Untuk oleh-oleh,’’ katanya, tersenyum. Aneka souvenir dan merchandise itu, berwarna khas Melayu: merah, kuning dan hijau.
Awalnya, selain melibatkan masyarakat Tanjungpinang secara massal, ada keinginan untuk melibatkan sepuluh kampung dalam berbagai kegiatan selama festival berlangsung. Sebab, selain lebih meriah, lebih mudah dibranding dan dikemas dalam paket wisata budaya. Setiap kampung satu kegiatan budaya unggulan.
Kota Piring sebagai pusat pemerintahan dan komando Perang Riau, dijadikan lokasi pembukaan festival Sungai Carang dan sekaligus peletakan batu pertama pembangunan replika istana Kota Piring. Menurut sejarah, istana Kota Piring dibangun tahun 1777 oleh Raja Haji Fisabilillah. Istana ini tergolong indah dan unik karena dindingnya dihiasi dengan pinggan (piring) dan beberapa bagian dilapisi cermin dan tiangnya berbalut tembaga.
Sehingga, saat terkena cahaya sinar matahari siang atau sinar rembulan di malam hari, istana ini seperti memancarkan cahaya berkilau. Saking banyaknya piring di istana yang juga menjadi kediaman Raja Haji Fisabilillah ini, maka istana ini terkenal dengan nama Istana Kota Piring. Dari istana inilah Raja Haji Fisabillah mengomandoi Perang Riau yang terkenal itu melawan Belanda dan berhasil menenggelamkan kapal Belanda tanggal 6 Januari 1784 yang kemudian dijadikan sebagai hari jadi kota Tanjungpinang.
Di sepuluh kampung dari hulu sampai hilir Sungai Carang, diimpikan akan hidup oleh berbagai kegiatan. Di Kampung Melayu misalnya, dipusatkan sebagai ajang festival kesenian tradisional seperti lomba tari Melayu, joget Dangkong dan sebagainya. Di Kampung Bulang, ada bazar dan lomba kuliner makanan Melayu antar RT/RW.
Sedangkan di Tanjungunggat digelar pesta permainan rakyat seperti gasing, layang-layang dan panjat batang pinang. Di Kampung Bugis ada lomba perahu layar dan dayung sampan, sedangkan di Penyengat digelar lomba baca Gurindam XII dan syair. Penutupan festival diselenggarakan di Plaza Raja Haji Fisabilillah.
Mari kita bayangkan sebentar. Betapa akan hidup suasana sepuluh kampung di Sungai Carang yang tidak hanya bernilai historis, tetapi juga berdampak sosiologis dalam bentuk harmoni hubungan sosial antar masyarakat serta ekonomis, sebagai upaya peningkatan ekonomi kerakyatan.
Saya membayangkan, suatu saat nanti, jembatan Engku Putri yang megah itu, dicat warna merah, kuning dan hijau. Lalu, kebiasaan warga akan berubah, tidak lagi membuat rumah membelakangi Sungai Carang, tapi menjadikan sungai bersejarah ini halaman depan dan berandanya.
Bagaimanapun, Festival Sungai Carang 2014 berhasil meletakkan kerangka bisnis Tanjungpinang masa depan. Selain tetap jadi kenangan, Sungai Carang bisa menjadi gaya hidup baru warga Kepulauan Riau, khususnya sektor pariwisata dan hiburan. Harap dicatat, Kepulauan Riau memiliki 2.408 pulau dan 95 persen lautan.
Saat penutupan Festival Sungai Carang, 5 Januari 2014, dilakukan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara PT Batam Pos Multi Karya, PT Tanjungpinang Makmur Bersama serta Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kota Tanjungpinang. Tujuannya adalah, kerjasama pengelolaan dan pengembangan paket wisata Sungai Carang.
Perusahaan bersama yang digagas itu namanya Cahaya Sungai Carang, kerjasama antara PT Batam Pos Multi Karya dan PT Tanjungpinang Makmur Bersama yang akan mengelola paket wisata Sungai Carang. Gayung pun bersambut. Sebuah perusahaan tour and travel Mahanta Karya atau dikenal dengan Emka Tour yang berpengalaman sebagai tour operator dan event organizer serta PT Prima Buana Gema Bahari akan bekerjasama mengelola paket wisata Sungai Carang.
Bos Emka Tour Sapril Sembiring yang mengelola bisnis pariwisata sejak 11 tahun lalu, berupaya mengenalkan berbagai destinasi wisata baru di Tanjungpinang dan Kepulauan Riau. Namun, sebagian besar wisatawan yang datang menyelipkan acara wisata dalam kegiatan kunjungan kerja.
‘’Kunjungan wisatawan yang paling utama adalah ke Pulau Penyengat. Ada beberapa obyek wisata baru yang kita kenalkan seperti ke Pulau Kuku di Anambas melihat kehidupan pengungsi Vietnam yang lebih duluan ada dibanding di Pulau Galang, Batam,’’ ujar Sapril. Selain itu, juga ada wisata ke Pulau Mapur di Bintan dengan paket snorkling dan Pesta Gonggong di Busung, turis bisa cari gonggong dan memasaknya sendiri. Pernah juga diadakan Tour de Benan di Lingga.
Sementara itu, PT Prima Buana Gema Bahari, pemilik kapal juga berminat mengembangkan kapal pesiar yang dirancang untuk wisata bahari seperti kegiatan memancing, snorkling, diving bahkan bisa untuk meeting dan wedding. Interior dan eksterior kapal tersebut juga dirancang untuk kapal wisata. Selain rute Sungai Carang, kapal ini juga bisa digunakan untuk wisata antar pulau.
Bagaimana dengan paket wisata kapal pesiar Sungai Carang? ‘’Wisata sungai ini akan menjadi magnet baru wisatawan yang diokombinasikan dengan kunjungan ke Penyengat. Di negara lain, river cruise sangat diminati,’’ kata Sapril Sembiring, optimis. Sebagai provinsi bahari, Kepulauan Riau sangat layak memiliki kapal pesiar sungai.
Di dunia, hanya ada tujuh kapal pesiar sungai yang terkenal. Yakni, Viking River Cruise yang berlayar di sungai Rhine, The River Saigon di Vietnam, Uniworld River Cruises yang melayari tiga negara di Eropa sekaligus, Avalon Scenery di Perancis, Noble Caledonia Cruises di Rusia, Sanctuary MS Yangzi Explorer di China dan Orient Pandaw di Serawak, Malaysia. Negeri jiran ini juga memiliki Melaka River Cruise.
Sangat pantas, Kepulauan Riau memiliki kapal pesiar sungai. Dan Insya Allah, dalam waktu dekat akan diluncurkan kapal pesiar Sungai Carang Cruise, menjelang pelaksanaan Festival Sungai Carang 2015. Kendati tantangan terbesar menggelar acara pada bulan Desember adalah musim hujan, ombak dan angin yang kuat, bukan tak mungkin Festival Sungai Carang digelar dari sore hingga detik-detik pergantian tahun. Kapal-kapal hias dengan lampu warna-warni, sinar laser dan obor di pinggir sungai, bisa jadi Sungai Carang akan lebih hebat daripada sungai Huang Pu di Shanghai. ***