Dabosingkep, Tragedi Kota Tambang yang Terbuang

By Socrates – Menyusuri Singkep, pulau berbentuk teko dan terletak paling ujung di Selatan Kepulauan Riau itu, seperti menyaksikan sisa kejayaan masa lalu yang sudah runtuh. Apa saja perubahan setelah Singkep menjadi bagian dari Kabupaten Lingga?

Cicit burung walet, menghiasi udara kota Dabo di pagi hari. Kedai kopi mulai ramai didatangi warga yang mau sarapan pagi. Selain aktivitas pelajar dan pedagang pasar tradisional, tak tampak kesibukan yang berarti di kota yang pernah jaya itu. Ya, Dabo pernah menjadi salah satu kota paling maju di Riau, bahkan lebih maju dari Tanjung Pinang, ibukota kabupatennya.

Kemajuan ini semua berkat timah.  Pulau Singkep dulu memang kesohor sebagai daerah penghasil timah. Selama 180 tahun, Singkep dikuras isi perutnya. Tidak hanya itu. Pasirnya pun dikeruk dan dijual ke Singapura. Hutan ditebangi, malah hutan lindung pun digunduli.

Sejarah panjang timah dimulai dua abad lalu, timah sudah didulang secara tradisional. Lalu, perusahaan Belanda Singkep Tin Maatschaappij  tahun 1934 menggarapnya secara besar-besaran. Tahun 1959, penambangan timah pun diambil alih pemerintah sampai akhirnya pulau itu ditinggalkan di awal tahun 90-an.

Singkep pun terjerambab ketika terjadi anjloknya harga timah saat mala-petaka timah yang disebut tin crash tahun 1985. Warga Singkep terlena dan tak menyangka, timah bisa habis masa jayanya. Secara bertahap, ribuan karyawan di PHK. Sebagian, pindah ke tambang lain di Kundur, Karimun dan Bangka.

Era kejayaan timah berakhir, datanglah musim mengeruk pasir, yang dijual ke Singapura. Akibatnya bisa ditebak. Pulau Singkep porak-poranda. Tragedi kota tambang ini menimbulkan kerusakan lingkungan yang hebat dan perubahan sosial yang dahsyat.

Pulau Singkep pun mulai ditinggalkan. Baik para pengusaha yang hengkang ke Batam atau Tanjungpinang, pengangguran yang punya ketrampilan mencari pekerjaan, anak-anak muda yang baru tamat kuliah  tersebar ke berbagai kota dan tidak mau kembali ke Singkep. Akibatnya, Dabo Singkep jadi sepi.

Pulau Singkep pun kian merana. Data kependudukan Singkep turun naik. Tahun 1990 penduduk Singkep 39.000 jiwa. Tahun 1995 menyusut jadi 21.000 jiwa saja. Pelan-pelan tahun 1997 naik lagi 35.000 jiwa. Data terakhir tahun 2009 jumlah penduduk Singkep 45.833 jiwa, hampir separuh dari total jumlah penduduk Kabupaten Lingga sebanyak 93.783 jiwa. Sekitar 4.000 orang berdomisili dan bekerja di Batam.

Dulu, mendapatkan menantu yang bekerja di PT Timah adalah sebuah kebanggaan. Malah, Kepala Unit Penambangan Timah Singkep (UPTS) lebih disegani dibandingkan Camat. Berbagai fasilitas publik seperti jalan raya, listrik, bandar udara dibangun oleh PT Timah.

Biaya pendidikan anak-anak karyawan ditanggung PT Timah. Jika ada keluarga karyawan yang sakit, diterbangkan ke Jakarta. Semua kebutuhan sembilan bahan pokok, didatangkan dari luar Singkep. Pesawat Foker 27 mendarat di bandara Singkep dua kali seminggu.

” Semua karyawan PT Timah mendapat jatah bulanan beras, kopi, gula secara gratis. Malah, kalau lebaran, kami diberi bahan pakaian yang belum dibelum dijahit. Akibatnya, ketika berlebaran, kami anak-anak  PT Timah seperti memakai pakaian seragam karena bahannya sama,” kata seorang anak mantan karyawan PT Timah, sambil tertawa.

Kehidupan sosial dan ekonomi warga Singkep yang terbiasa dimanja timah, kini harus berhadapan dengan kenyataan hidup yang keras. Banyak anak muda yang putus sekolah lantaran orang tuanya ”terpelanting” dari PT Timah. Pengangguran yang punya berbagai ketrampilan itu, pindah ke Batam, Tanjungpinang, Karimun dan ke Jambi, meninggalkan Dabosingkep.

Akibat kerusakan lingkungan yang parah, membuat hati warga Singkep terluka dan menimbulkan trauma berkepanjangan. Para pemuda Singkep yang disekolahkan ke Bandung dan disediakan wisma, patah semangat dan putus kuliah.

Setelah era timah berakhir, giliran pasir dikeruk, lalu dijual ke Singapura. Laut dan muara sungai tercemar oleh limbah pasir. Pantai menjadi dangkal, dampak paling teruk dirasakan oleh nelayan. Padahal, hanya pada musim Selatan nelayan bisa melaut.

Tak hanya pasir, kayu-kayu pun dirambah. Belasan kilang papan beroperasi di Pulau Singkep. Tersebar di berbagai desa. Dua di antara kilang papan itu bermarkas di hulu sungai Marok Tua. Kayu-kayu di hutan lindung Gunung Lanjut dan Gunung Muncung, ikut dibabat.

Cukup? Belum. Kandungan bauksit di perut Singkep juga dikeruk. Kabupaten Lingga adalah daerah terbanyak kedua yang memiliki bauksit, setelah Sanggau, Kalimantan Barat. Jumlah sumber daya bauksit di Kepri 180,97 juta ton, dan 168,96 juta ton berada di Kabupaten Lingga. Penambangan bauksit ini berhenti yang menyebabkan 32 perusahaan yang memiliki izin penambangan stop beroperasi dengan terbitnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 tahun 2012 sebagai aplikasi dari amanat UU  Nomor 4 Tahun 2009 tentang larangan ekspor bahan tambang mentah salah satunya adalah bauksit.

Meski marah, kecewa dan nyaris putus asa, warga Singkep yang masih bertahan di pulau itu atau yang berada di perantauan, tetap memelihara setitik harapan adanya perbaikan untuk masa depan Singkep. Berbagai terobosan juga dilakukan tokoh-tokoh dan putra Singkep di perantauan. Namun, belum membuahkan hasil yang menggembirakan.

Harapan itu muncul dari rencana mengembangkan Singkep jadi sentra perkebunan sawit, sebagai proyek paska timah.  Pulau Singkep dinilai cocok untuk kebun kelapa sawit, coklat, cengkih, dan merica selain karet dan kelapa. Namun, proyek kebun sawit itu gagal. Pernah pula muncul gagasan mengembangkan industri garmen di bekas kantor dan gudang PT Timah yang kosong. Namun, lagi-lagi rencana itu gagal.

Sejak terbentuknya Kabupaten Lingga tahun 2003, Pulau Singkep dimekarkan dari dua menjadi empat  kecamatan, yakni Kecamatan Singkep, Singkep Barat, Singkep Pesisir dan Singkep Selatan. Secara fisik, kota Dabo yang sudah maju sejak era timah, tak banyak yang berubah.

Kini, selain ratusan kolong bekas galian timah, puluhan bangunan berbentuk kotak sarang walet, tersebar dari pusat kota hingga Bukit Kapitan di Dabo Lama. Jalan dari Pelabuhan Jagoh ke Dabo sudah diaspal. Selain beberapa ruko baru, hanya bertambah satu hotel melati dan dua penginapan. Kota Dabo tampak lebih rapi. Inilah kota yang hanya memiliki satu traffic light.

Waktu seakan berjalan lambat di Dabosingkep. Saat senja menjelang, Dabo terasa makin sepi. “Dabo ya begitu-begitu saja. kalau ada acara baru ramai orang dari Daik datang kesini,” kata Jupri, nelayan yang kini jadi pelayan wisma. Saat malam merambat, Dabo sunyi senyap.

Investor Pemberi Harapan Palsu

Entah sudah berapa banyak perusahaan yang datang melirik Singkep. Namun, investor itu baru sebatas akan-akan masuk. Yang benar-benar membuka usaha bisa dihitung jari. Yang sering terjadi, suvei, presentasi, lalu pergi. Ada juga yang berkedok investasi, ternyata mengincar kekayaan alam. Mengapa?

Potensi Pulau Singkep disebut-sebut bukan hanya tambang, tapi juga pertanian, perkebunan, peternakan dan tentu saja perikanan. Selain kekayan sumber daya mineral seperti timah dan bauksit, Pulau Singkep memiliki kekayaan laut dan perikanan yang luar biasa. Apalagi, Kabupaten Lingga seluas 45.508,66 km2 ini, sebanyak 95 persen lebih adalah lautan.

Berbagai gagasan muncul untuk memberdayakan masyarakat paska timah. Pernah ada rencana memanfaatkan bekas kolong-kolong timah untuk budi daya ikan air tawar seperti sepat dan nila. Namun, usaha ini berhenti begitu saja di tengah jalan.

Tidak mudah mengubah orientasi warga Singkep dari pertambangan ke sektor lain seperti pertanian dan perkebunan. Kalau dari tambang timah, pasir dan bauksit hasilnya cepat, sementara pertanian dan perkebunan butuh waktu dan proses.

Selain itu, sektor perkebunan, pertanian, perikanan dan peternakan, berpotensi dikem-bangkan di Singkep. Komoditi unggulannya antara lain karet, kopi, dan kelapa. Sedang-kan sektor perternakan komoditinya antara lain sapi dan kambing. Hasil survei menunjukkan, tanah di Pulau Singkep yang berjenis Alluvial, Regasal, Hydromorp kelabu dan Podsolik merah kuning dapat dipulihkan melalui program tanaman perke-bunan.

Angin surga dan harapan palsu, sangat sering sampai ke telinga warga Singkep, soal adanya investor yang bakal masuk.  Ada yang mengaku sebagai investor perkebunan sawit, karet dan sagu serta sektor perikanan dan pariwisata.

Perekonomian warga Singkep sulit berkembang. Perkebunan karet umumnya perkebunan rakyat yang dikelola secara tradisional. Belakangan, harga karet juga menukik tajam. Karet yang disadap, dijual ke tengkulak-tengkulak karet di Jambi.

Begitu juga sektor perikanan. Salah satu jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi adalah ikan ekor kuning yang bisa diekspor ke Singapura, baik dalam keadaan hidup maupun dagingnya. Namun, perdagangan ikan ini dikuasai para toke yang menekan harga pembelian terhadap nelayan.

Berulang kali, investor batal masuk ke Kabupaten Lingga. Misalnya, pabrik pengolahan sagu di Daik Lingga. Padahal, Kabupaten Lingga adalah daerah penghasil sagu terbesar di Kepulauan Riau. Tahun 2007, Sampoerna Agro berencana menanamkan modal untuk perkebunan sagu di lahan seluas 10.000 hektar.

Namun, entah mengapa, PT Sampoerna Agro pindah ke Selatpanjang, Kabupaten Meranti, Riau. Proyek pertama Sampoerna Agro adalah garapan lahan seluas 22.000 hektar di Selat Panjang, Riau yang telah ditanami sagu seluas 10.000 Ha.

Tak sedikit pula, yang masuk adalah investor abal-abal dan ternyata hanya broker mengincar lahan.  ‘’Ada juga dua insinyur yang membuat kolam ikan. Tapi hanya hanya tujuh bulan, perusahaan itu pergi entah kemana dan meninggalkan kolam ikan kosong di Dabo, ‘’ kata Adenan, warga Lanjut, kecewa.

Celakanya, ada pengusaha yang berencana membangun resort dan membangun vila di pantai Tajur Biru, di desa Temiang, Senayang Kabupaten Lingga. Izin dari bupati dan rekomendasi DPRD sudah dikantongi. Nah, saat melakukan cut and fill di lokasi tersebut, ternyata ia menemukan bebatuan yang mengandung biji besi. Diperkirakan jumlahnya 40.000 ton lebih dan kadarnya 52 persen.

Berlindung di balik aturan hukum, ia boleh memanfaatkan biji besi tersebut. Kepada media, pengusaha tersebut mengatakan, ia tidak mau dianggap hanya memanfaatkan batuan mengandung biji besi itu. ‘’Kalau saya tidak bangun resort, orang bisa menilai, nah itu kan? Ternyata, itu cuma akal-akalan. Setelah biji besi diambil, lalu lahan itu ditinggalkan,’’ katanya.

Nyatanya, itu memang akal-akalan pengusaha tersebut. Sampai saat ini, villa itu tidak jadi dibangun. Sedangkan puluhan ribu ton biji besi di lahan itu sudah digali dan dijual ke luar negeri.  Izin pembangunan resort dan sekaligus izin penambangan biji besi, diajukan perusahaan tersebut Januari 2010.

Pada Maret 2010, Bupati Lingga melayangkan surat teguran karena villa belum juga dibangun. Anehnya, bupati belakangan menerbitkan Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi Pengang-kutan dan Penjualan Sementara kepada perusahaan tersebut. Sampai saat ini, pembangunan resort tersebut mandeg. Tinggallah lubang yang menganga bekas galian di tepi pantai.

Pengusaha dan beberapa pejabat terkait, sempat diperiksa polisi. Namun, sampai saat ini tidak satupun yang ditetapkan sebagai tersangka dan kasus tersebut mengendap begitu saja.

Ada lagi kasus investor yang berencana membuka perkebunan kelapa sawit, namun kenyataan di lapangan, begitu mengantongi izin menggarap lahan 10.000 hektar, perusahaan itu malah menebangi hutan dan kayunya dijual ke perusahaan bubur kertas di Riau. Rencana perkebunan sawit hanya kedok belaka. Saat baru masuk ke Lingga tahun 2005, penampilan perusahaan tersebut cukup meyakinkan. Mereka sempat mempresentasikan usaha kebun sawit tersebut ke pejabat Pemkab Lingga dan masyarakat setempat. Kasus berkedok perkebunan sawit dan illegal logging ini, sempat diselidiki Polda Kepri. Namun, setelah itu senyap.

Beberapa tahun lalu, kabarnya ada perusahaan asing yang mengeksplorasi tambang di Dabo Singkep. Namun, hanya dua tahun perusahaan itu berhenti beroperasi. Diduga, perusahaan itu hanya kedok karena mereka mengincar harta karun di Pulau Singkep.

Sikap apatis dan frustrasi sosial yang melanda warga Singkep, membuat mereka juga bersikap ambigu. Di satu sisi, mereka berharap ada investor yang masuk sehingga membuka lapangan kerja baru. Namun, di sisi lain, mereka tak rela investor mengobrak-abrik dan mengincar  isi perut bumi di pulau Singkep.

Jai warga Desa Pelakak, bersemangat begitu mendengar ada investor perkebunan yang akan masuk ke Dabo. “Kalau kebun tak apelah, biar Dabo ni hijau. Kita pun bisa kerja,” katanya saat pulang mencari sarang semut atau kroto ke hutan untuk dijual sebagai makanan burung.

Saat ini saja, UMK Kabupaten Lingga sebesar Rp1.720 sering tak terpenuhi lantaran perusahaan tidak mampu dan berskala kecil.  Akibatnya, cukup banyak warga yang kerja serabutan dan kerja rangkap. Misalnya, siang kerja di bandara, malamnya jadi satpam di wisma atau tempat lain. Gaji siang hari hanya Rp1 juta, menjadi penjaga malam dapat honor Rp500 ribu sehingga praktis mereka kerja siang malam.

Selama enam bulan atau satu semester tahun 2014, baru dua perusahaan perkebunan karet yang mengurus izin Badan Penanaman Modal dan Perizinan (BPMP) Lingga. Anggaran Pendapatan Belanja Daeerah (APBD) Kabupaten Lingga tahun 2014 sebesar Rp1,1 Triliun, ternyata dalam perjalanannya terjadi defisit sekitar Rp230 Miliar. Dalam pembahasan APBD-P defisit tersebut ditutupi dari anggaran SKPD yang dipending dari proyek yang sudah tender.

Selain defisit anggaran, minimnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Lingga tahun 2013 sebesar Rp29 Miliar  dan turun sebesar 5,5 persen.  Menurut anggota DPRD Lingga Raja Muchsin, kecilnya APBD Kabupaten Lingga, lantaran kontribusi sektor swasta juga kecil. ‘’Solusinya, tarik investor sebanyak-banyaknya. Potensi Lingga yang terbesar dari perikanan, perkebunan, dan pertambangan timah dan potensinya masih tersimpan di laut,’’ katanya.

Meski Lingga sudah menjadi kabupaten selama 11 tahun, tidak mudah membangun kawasan dengan jumlah pulau 531 buah pulau besar dan kecil, serta 447 buah pulau di antaranya belum berpenghuni ini. Saat ini, sarana transportasi ke Lingga relatif  lebih mudah. Ada kapal ferry tiap hari dari Batam dan Tanjungpinang. Juga kapal roro sekali seminggu dan pesawat perintis Susi Air yang terbang sekali seminggu dari Tanjungpinang dan tiga kali seminggu dari Jambi.

Dengan wilayah yang cukup luas, laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Lingga hanya sebesar 0,82 persen dan terendah di Provinsi Kepri. Di Singkep sendiri, warganya lebih banyak orang tua dan anak-anak usia sekolah. Para pemuda lulusan universitas, enggan kembali ke Dabo dan memilih bekerja di Pulau Jawa atau di Batam dan Tanjungpinang.

Mengapa investor enggan dan berpikir dua kali menanamkan modal di Pulau Singkep? Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Kabupaten Lingga Exsan Fansury mengatakan, secara geografis, Pulau Singkep terletak paling Selatan di Kepulauan Riau sehingga agak terpencil. ’’Jalan ke Singkep ini seperti jalan buntu, pintu masuk dan pintu keluarnya hanya satu, yakni melalui pelabuhan Jagoh,’’ katanya.

Sejak lama,  Exsan mengusulkan, agar akses ke Pulau Singkep dibuka, khususnya bagian Barat seperti Marok Tua dan Marok Kecil sehingga langsung ke pesisir timur Pulau Sumatera. Sehingga, jalur transportasi dari Singkep bisa langsung ke Nipah Panjang, Jambi atau ke Tembilahan Riau, melalui Selat Berhala.

Menurut Exsan, akses baru dan pelabuhan yang pernah direncanakan dibangun di Teluk Sebayur, sangat penting buat kemajuan Kabupaten Lingga di masa depan. ’’Tapi sampai sekarang belum dibangun,’’ katanya.

Kaliandra Merah yang Gagal

Sudah hampir sebulan, Ridwan pindah dari Batam ke Dabosingkep. Ia menyemai bibit Kaliandra Merah untuk ditanam disana.Tanpa sosialisasi dan presentasi, tapi langsung beraksi.  Ini merupakan gagasan Dahlan Iskan dengan konsep sosiopreneur demi Indonesia. Mengapa Lingga dipilih dari beberapa daerah di Indonesia?

Kaliandra Merah dengan nama latin Calliandra Calothyrsus adalah tumbuhan polong-polongan, berkeping dua dan berbunga. Kaliandra berasal dari Meksiko dan Amerika Tengah. Tahun 1936 Kaliandra dikirim dari Guatemala ke Jawa dan sejak 1974 tersebar di seluruh daerah tropis. Selama ini, hanya untuk penghijauan dan makanan ternak.  Di negeri asalnya disebut Cabello de Angel atau rambut malaikat atau Barbe Sol alias jenggot matahari karena bunganya yang indah.

Apa kelebihan si Kaliandra Merah ini? Pertama, Kaliandra adalah tanaman energi, ramah lingkungan dan efisien. Energi yang dihasilkan hingga 4.700 Kkal/kg dan arangnya jika dibakar dapat menghasilkan energi hingga 7.200 Kkal/kg. Energi tersbeut sudah sama dengan batu bara, yakni sekitar 3.700-5.000 Kkal/kg.

Kedua, gampang tumbuh di berbagai kondisi tanah, tahan sampai pH 4,5 kecuali di rawa-rawa. Kaliandra bisa  tumbuh sampai ketinggian 1.800 meter di atas permukaan laut . Sekali tanam, bisa panen hingga 20 tahun dan tidak harus menebang pohon yang sudah ada karena bisa ditanam disela-sela pohon lainnya.

Ketiga, umur setahun sudah bisa ditebang dan tidak perlu tanam baru. Setelah itu, tiap tahun bisa  ditebang dan dipanen lagi. Jarak tanam yang hanya 1×1 m hingga 1×2 m, sehingga sangat efisien lahan.

Keempat, bunga Kaliandra Merah sangat disukai lebah sehingga masyarakat bisa beternak lebah. Kebutuhan madu secara nasional tahjun 2015, baik untuk konsumsi maupun industri mencapai 14.604 ton/tahun. Kaliandra yang selalu berbunga sangat mendukung peternakan lebah. Khasiat madu kaliandra sangat baik. Di Batam, madu Kaliandra dijual Rp120 ribu per botol.

Kelima, akar kaliandra yang berbintil-bintil mengandung nitrogen sehingga menyuburkan tanah dan merehabilitasi lahan kritis. Kaliandra bisa menjadi tanaman konservasi. Daunnya, selain untuk  makanan ternak, yang  gugur cepat menyatu dengan tanah sehingga hutan Kaliandra tidak mudah terbakar.

Keenam, bisa menjadi lapangan usaha dan meningkatkan kesejahteraan  masyarakat . Bunganya untuk beternak lebah, daunnya untuk makanan ternak kambing dan sapi dan kayunya mempunyai nilai ekonomis, apalagi kalau sudah diolah menjadi pellet.

Kayu Kaliandra diolah menjadi pellet kayu (wood pellet) dan merupakan bahan bakar listrik berbasis biomassa yang lebih ramah lingkungan dibanding batubara. Bisa juga untuk bahan bakar kompor, pengganti gas dan minyak tanah. Bahan bakar ini lebih murah dari Pembangkit Listrik Tenaga Diesel yang menggunakan solar.

Pelet kayu ini juga dibutuhkan pabrik gula dan teh di dalam negeri dan diekspor ke Korea Selatan, Jepang, China dan Norwegia. Korea Selatan saja memesan 300 ton pelet kayu per bulan. Dan tidak semua permintaan itu bisa dipenuhi. Pelet  kayu sangat efisien dalam pembakaran. Sebab, kayu yang sudah menjadi pellet itu, kadar airnya rendah.  Satu kilo pelet memiliki kapasitas energi sekitar 5 kWh.

Apakah Kaliandra hanya sebatas rencana dan mimpi belaka? Buktinya sudah ada. Lihatlah masyarakat Kecamatan Geger, Bangkalan Madura. Kini Kaliandra Merah menjadi pundi-pundi uang. Ratusan petani di desa Kombangan, Geger dan Togubang menanam kaliandra merah di hutan rakyat Gerbang Lestari, yang luasnya mencapai 214 hektar dan disebut kebun energi.

Pabrik pelet kayu dibangun. Permintaan dari dalam dan luar negeri berdatangan secara fantastis. Pabrik di tengah hutan rakyat dengan kapasitas 9 ton perhari itupun kewalahan. Anda bisa melihat di internet Bangkalan Model Project  di www.greenmadura.or.id

Lalu, mengapa Kaliandra Merah penting untuk Singkep di Kabupaten Lingga? Pertama, untuk menghijaukan Singkep yang selama bertahun-tahun mengalami kerusakan lingkungan yang hebat. Menanam Kaliandra, setidaknya bisa menjadi pemanfaatan area paska tambang (post mining utilization project), terutama di kolong-kolong timah dan pasir yang ditinggalkan.

Di berbagai penelitian, Kaliandra dikenal sebagai tanaman yang sangat mudah beradaptasi dan mampu merehabilitasi tanah yang tercemar. Di Kalimantan, Kaliandra dipakai untuk merehabilitasi tanah bekas tambang batu bara. Kaliandra mampu mengikat unsur hara dan memulihkan kesuburan tanah dan menguraikan zat pencemar seperti sisa hasil tambang.

Kedua, Kaliandra Merah mulai dari daun, bunga, batang hingga akarnya bermanfaat. Dari peternakan sapi dan kambing, Singkep bisa mensuplai kebutuhan Pulau Batam yang selama ini memasok sapi dari Jambi dan Lampung. Peternakan lebah juga bisa memenuhi kebutuhan Kepulauan Riau, Singapura dan Malaysia. Madu yang dipasarkan di Batam malah didatangkan dari Yaman dan Arab Saudi.

Ketiga, produksi wood pellet akan membantu menyediakan bahan bakar untuk masyarakat Singkep dan menyediakan bahan baku untuk pembangkit listrik di masa depan. Saat ini, Singkep masih mengandalkan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Setajam Dabosingkep  yang memiliki kapasitas 4,1 MW  belum mampu melistriki  Kecamatan Singkep Selatan seperti Laboh, Marok Kecil, dan Resang. Butuh dana Rp14 miliar untuk instalasi sepanjang 40 kilometer.

Secara nasional, sekitar 30 persen rakyat Indonesia masih belum menikmati listrik alias gelap yang tiada habisnya.  Rasio elektrifikasi, yakni berapa persen rumah tangga yang dapat dilayani listrik hanya 79 persen. Artinya, 21 persen lagi belum menikmati listrik.

Nah, menyangkut soal listrik inilah, terutama untuk daerah-daerah terpencil dan terisolir, Dahlan Iskan terpesona dengan Kaliandra Merah. ‘’ Saya akan fokus pada kerja sosial, yakni melistriki daerah-daerah terpencil, pulau terpencil dan pedalaman terpencil yang sepuluh tahun lagi belum akan dapat menikmati listrik,’’ kata Dahlan Iskan,  mantan Dirut PLN dan Menteri BUMN ini.

Cita-cita Dahlan Iskan itu,  diwujudkan melalui gerakan sosiopreneur. Gerakan bisnis dan sosial sekaligus. Khususnya dengan membangun pembangkit listrik  berbasis biomassa. Mengingat begitu banyaknya daerah pelosok yang miskin dan belum terjamah listrik.

‘’Kegiatan sosial itu saya sebut sosiopreneur. Sosiopreneur Demi Indonesia (SDI): sebuah kegiatan sosial yang dikelola secara entrepreneur. Meski kegiatan sosial, harus berlaba. Hanya, labanya tidak boleh diambil. Harus untuk program serupa berikutnya,’’ papar Dahlan Iskan. Sosiopreneur adalah usaha yang tidak memikirkan keuntungan pribadi, tapi lebih pada membangun kemandirian dan memberdayakan masyarakat secara bersama-sama.

Melalui Sosiopreneur Demi Indonesia, duet Dahlan Iskan meski bukan lagi Dirut PLN dan Menteri BUMN bersama Rida K Liamsi—putra Singkep itu– berusaha mewujudkan mimpinya : Menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat pelosok sekaligus mengakhiri kegelapan mereka selama ini: hidup tanpa listrik.

Tahap awal, sebanyak 30 daerah dipilih untuk mengembangkan Kaliandra sebagai sumber energi alternatif. Antara lain, Kabupaten Kepulauan Meranti Riau, Ambalut di Kaltim, Tambora Nusa Tenggara Barat, Enggano Bengkulu, Bolang Mongondow Sulawesi Utara, Bangka, Tual dan Obi di Maluku, Konawe dan Luwuk di Sulteng serta Singkep di Kabupaten Daik Lingga Kepulauan Riau.  Gerakan Sosiopreneur Demi Indonesia, secara serentak, dilaksanakan pada tanggal 7 Januari 2015.

Namun, perkebunan Kaliandra Merah di Desa Cik Latip Dabosingkep itu, gagal total. Uang habis. Pamor Dahlan Iskan dan Rida K Liamsi meredup. Akhirnya, Ridwan pergi dari Dabosingkep, balik kampung ke Medan. Namun, yang jelas, kaliandra bisa tumbuh menghijaukan danau-danau bekas galian timah di masa lalu.

Sudah saatnya Singkep bangkit dari romantisme kejayaan masa lalu karena timah. Dengan niat baik, tekad baja dan kerja keras, seluruh masyarakat Singkep, baik yang berada di Pulau Singkep maupun di kota-kota lain, harus mampu membangkit batang terendam, menjadi daerah yang maju, lebih hebat dari masa lalu. ***

spot_img

More from this stream

Recomended