18.8 C
Indonesia
BerandaSOCRATESJOURNEYJadi Wartawan itu (Tidak) Enak (1)

Jadi Wartawan itu (Tidak) Enak (1)

-

Banyak orang jadi penulis, wartawan, pengarang dan sejenisnya sejak remaja. Saya tidak. Paling-paling, saya jago menulis surat. Sebab, sejak SMA saya sudah sekolah jauh dari rumah. Kelas satu SMA di Payakumbuh karena nakal dan berkelahi dengan guru, saya tinggal kelas.

Saya lahir di Payakumbuh. Anak ketiga dari empat bersaudara. Nama saya Socrates. Nama yang aneh, unik, hebat dan gampang diingat. Entah kenapa ibu saya memberi nama ini. Selain dibully, banyak hal unik saya alami gara-gara nama. Nanti saya ceritakan.

Dari Payakumbuh, saya pindah sekolah ke INS Kayutanam. Lokasinya di jalan raya Padang – Bukittinggi kilometer 53. Dari Payakumbuh jaraknya sekitar 64 kilometer. Saya tinggal di asrama. Nah, saya menulis surat ke orang tua dan pacar. Itu saja. Isinya bisa ditebak. Minta kiriman uang, atau merayu pacar saya dengan kalimat indah. Sialnya, pacar saya jarang atau hampir tidak pernah membalas surat saya.

Tak terbayangkan, bertahun-tahun kemudian, saya menjadi penulis opini, menjadi wartawan, menulis berita, feature, dan menulis buku. Tapi, sejak SMP saya rakus membaca. Majalah Tempo, Intisari, majalah psikologi populer Anda, novel Eny Arrow sampai majalah anak-anak Bobo dan Donal Bebek. Kebiasaan membaca, ditularkan Mama saya.

Karena tidak punya uang, Mama sering mengajak saya ke toko buku bekas. Ada majalah yang masih baru, tapi covernya sudah digunting. Bertahunn-tahun kemudian saya baru tahu. Itu majalah yang tidak laku. Namanya retur. Yang dikirim ke penerbitnya, ya guntingan covernya saja sebagai bukti.

Ada kata-kata Mama yang sangat membekas di hati saya. ‘’Tidak apa-apa kita baca buku bekas. Kan, isinya buat kita yang baru membaca, baru?,’’ kata Mama, tersenyum. Mama memberikan buku yang dibacanya kepadaku. Judulnya, bagaimana mencari kawan dan mempengaruhi orang lain, karya Dale Carnegie. Masih pakai ejaan lama. Buku itu diterjemahkan ke 50 bahasa.

Dari INS Kayutanam, saya satu-satunya yang lulus seleksi peneri-maan mahasiswa baru. Saya diterima di jurusan Sosiologi Universitas Andalas, Padang. Ketika saya lapor ke Pak Abuzar kepala sekolah INS Kayutanam, dia heran dan seperti tidak percaya.

Awalnya, masih numpang di fakutas sastra, baru kemudian bergabung ke fakultas ilmu sosial dan ilmu politik. Saya angkatan tahun 1987. Ada semacam persaingan sehat dalam kelas saya. Yang pintar, bikin kelompok sesama mahasiswa pintar. Saya tidak termasuk.

Suatu sore, ada teman saya berkata,’’ Socrates, kamu kan banyak ide. Kamu kasih tahu saya, nanti saya tulis di koran,’’ katanya, sambil senyum dan cengengesan. Ternyata, ada tulisannya dimuat di surat kabar. Saya marah. Memangnya hanya Anda yang bisa menulis? Saya harus bisa. Saya membatin.

Saya punya mesin tik tua dan bekas. Pemberian tante saya yang bekerja di kantor polisi di Pekanbaru. Engkolnya patah. Bisa dipakai setelah dilas. Saat saya semester tiga tahun 1989 mulailah saya menulis opini, yang akan saya kirim surat kabar. Topiknya tentang pengangguran. Ternyata, menulis itu sulitnya setengah mati.

Berhari-hari, saya mengetik. Menuangkan ide di kepala saya ke mesin ketik. Banyak salah, saya tip ex. Berkali-kali, ganti kertas karena salah. Tidak mudah menyusun kata-kata ke dalam kalimat. Hampir dua minggu, saya baru menyelesaikan dua halaman ketikan. Saya baca berulang-ulang.

Saya teringat, teman baik saya saat di INS Kayutanam punya kakak perempuan. Ia wartawati majalah Kartini. Tulisan separo jadi itu, saya berikan kepadanya, minta saran. Beberapa hari kemudian, wartawati senior bernama Nita Indrawati Arifin itu, memberi saya saran secara tertulis.

Ia kritik tulisan saya. Diberi saran. Ada satu kalimat yang membuat saya bersemangat. Telah lahir seorang penulis muda di Sumater Barat. Tulisan pertama saya, setelah saya perbaiki berkali-kali, dimuat di halaman opini surat kabar Singgalang. Bangganya bukan main. Tahu honor pertama tulisan saya berapa? Rp5 ribu. Saya makan lontong di depan percetakan surat kabar itu, lalu membeli sebungkus rokok. (bersambung)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

LATEST POSTS

Jadi Wartawan itu (Tidak) Enak (7)

Pindah dari Pekanbaru yang panas ke Bukittinggi yang dingin, bukan perkara mudah. Kantornya bekas rumah sakit zaman Belanda di Mandiangin. Saya pindah tugas bersama satu...

Jadi Wartawan itu (Tidak) Enak (6)

Ternyata, Perawang itu jauh. Jaraknya 65 kilometer dari kota Pekanbaru. Dan 70 kilometer dari ibu kota Kabupaten Siak. Saat itu, merupakan sebuah kampung Tualang Perawang....

Jadi Wartawan itu (Tidak) Enak (5)

Hobi membaca, menulis opini selama enam tahun,  jadi surveyor, interviewer dan meneliti,  itulah modal saya jadi wartawan. Saya bergabung dengan surat kabar Riau Pos di...

Jadi Wartawan itu (Tidak) Enak (4)

Dengan berbagai kegiatan itu, menulis, bikin kegiatan seni dan olahraga, jadi tim manajer Universitas Andalas ke berbagai kota, hingga membuat majalah kampus yang kami namakan...
[td_block_social_counter style="style8 td-social-boxed td-social-font-icons" facebook="tagdiv" twitter="tagdivofficial" youtube="tagdiv" custom_title="Follow us" block_template_id="td_block_template_11" border_color="#fbb03b" f_header_font_size="eyJhbGwiOiIyMCIsInBvcnRyYWl0IjoiMTgifQ==" f_header_font_weight="600" f_header_font_family="702" f_header_font_transform="uppercase" tdc_css="eyJwb3J0cmFpdCI6eyJkaXNwbGF5IjoiIn0sInBvcnRyYWl0X21heF93aWR0aCI6MTAxOCwicG9ydHJhaXRfbWluX3dpZHRoIjo3NjgsInBob25lIjp7Im1hcmdpbi1ib3R0b20iOiI0MCIsImRpc3BsYXkiOiIifSwicGhvbmVfbWF4X3dpZHRoIjo3NjcsImFsbCI6eyJtYXJnaW4tYm90dG9tIjoiMzAiLCJkaXNwbGF5IjoiIn19"]

Most Popular

spot_img