Sebelum melanjutkan cerita saya mulai jadi penulis, saya ingin cerita tentang INS Kayutanam. Tentu versi saya. Saya merasa, tidak bodoh tapi juga tidak pintar. Tamat SD Pius, saya diterima di SMP Negeri 1 Payakumbuh. Lalu, masuk SMPP Negeri Payakumbuh yang kini berubah menjadi SMA 2 Payakumbuh.
Nah, suatu hari, ada murid yang duduk di belakang saya mengikis kapur tulis, lalu meniupkan ke arah saya. Saya marah, dan tanpa sadar bercarut dalam kelas. Guru fisika yang ganteng itu marah, lalu membentak saya sambil melotot. Akibatnya bisa ditebak. Nilai fisika saya 4 dan tidak naik kelas.
Saya tersentak. Belum pernah saya tinggal kelas. Lutut terasa lemas. Ibu saya tetap memberi semangat. Tidak apa-apa mengulang, katanya, sabar. Saya sempat mengulang di kelas satu. Tapi, malu setiap hari bertemu kawan sekelas dulu. Apalagi, kelas satu masuk siang dan kelas dua masuk pagi. Saya jadi malas sekolah.
Singkat cerita, saya pindah ke INS Kayutanam. Sekolah ini didirikan tahun 1926 oleh Engku M Sjafei. Areal sekolah ini sangat luas. Yakni 18 hektar. Saya masuk INS tahun 1984 dan tamat 1987.
Itulah pertama dan terakhir kali, saya diantar papa dan mama ke sekolah. Saya terkejut, ternyata kedua orang tua saya, pergi tanpa memberi tahu saya. Mau menangis, malu. Setelah saya mulai kuliah, papa terkena stroke. Ia melawan penyakit itu selama 13 tahun! Kalau saya pulang menjenguknya, papa selalu menangis.
Nama INS berubah sesuai zaman. Saat didirikan zaman kolonial Belanda, namnya Indonesisch Nederlansche School. Zaman penjajahan Jepang menjadi Indonesia Nippon School. Nama sekolah kemudian berganti lagi menjadi Institut Nasional Syafei, sampai sekarang. Singkatannya tetap INS.
Konsep pendidikan M Sjafei adalah mendidik siswa sesuai kebutuhan masyarakat, menyelaraskan antara teori dan praktek. Mendidik orang suka bekerja, mandiri dan berani berbuat, berani bertanggungjawab. Sjafei menekankan pendidikan dalam bentuk belajar, bekerja dan berbuat. Filosofinya adalah, ‘’dari pohon mangga jangan harapkan buah rambutan, tapi harapkanlah buah mangga yang paling manis” agar setiap anak INS menjadi dirinya sendiri.
Pertama kali menginjakkan kaki di INS Kayutanam, saya kagum karena halamannya luas sekali. Selain ruang kelas, ruang praktek, gedung serbaguna, juga ada asrama, lapangan sepakbola, lapangan tenis, kolam ikan dan ruang makan. Saya diajak ke rumah guru praktek. Saya baru tahu, siswa INS mulai dari kelas 1 SMP sampai kelas 3 SMA. Tapi mereka dikategorikan dari Ruang Didik 1 (RD) hingga RD 6.
Selain belajar akademik, semua siswa dibekali dengan ketrampilan. Mulai dari anyaman, keramik, ukiran untuk tingkat SMP serta pertukangan kayu, mengelas dan otomotif untuk SMA. Saya masuk ke INS. Toh, saya merasa sudah gagal. Dicap anak nakal, tinggal kelas, dan jenuh dengan situasi yang saya hadapi.
Tak banyak teman saya yang tahu saya pindah sekolah ke INS Kayutanam. Saya diantar kedua orang tua. Itulah pertama dan terakhir saya diantar papa saya ke sekolah. Saat saya tamat dari INS beliau kena stroke. Sebagai murid baru, saya segera menjadi pusat perhatian. Baik di sekolah maupun di asrama.
Tak satupun teman-teman baru di INS saat itu berasal dari kota yang sama dengan saya, Payakumbuh. Ada yang dari Padang, Pekanbaru, Aceh, Bangkinang, Bukittinggi, Medan, Pariaman, dan Jakarta. Saya belajar bergaul dengan orang dari berbagai latar belakang dan daerah asal berbeda.
Saya harus menyesuaikan diri dengan cepat. Gaya bahasa, budaya dan kebiasaan yang berbeda, berkumpul di sekolah dan asrama. Tidur bersama di dipan besi bertingkat dan sekamar empat sampai delapan orang. Makan siang dan malam, mirip pembagian jatah di dapur umum. Ambil nasi, dan sodorkan piring ke tukang masak asrama. Piring dan sendok bawa masing-masing dari kamar.
Selain memiliki teman selama 24 jam, solidaritas antar siswa INS terbangun dari mentraktir kawan. Yang punya uang, akan mentraktir yang lagi bokek. Nah, kalau uangnya habis, gantian yang baru dapat uang jajan atau kirimam wesel, mentraktir yang lain.Kalau sama-sama tak punya uang? Pakai jurus terakhir : ngutang di warung.
Merokok sebatang rame-rame, atau disebut “santing” hal biasa. Apalagi, habis makan pedas, rokok sebatang diisap bergantian. Istilah santing mungkin dari kata satu linting.
Ada siswa yang tertangkap basah merokok, hukumannya bisa membersihkan parit, atau disuruh menyulut rokok Komodor yang pahit itu lima batang sekaligus. Di dadanya digantung tulisan : Saya tidak akan merokok lagi. Ada teman anak Pekanbaru. Saking candu merokok, uang tak ada, ia mengambil sisa tembakau di puntung dan dikumpulkan, dilinting lagi dan diisap dengan nikmat!
Hari Sabtu, biasanya asrama sepi. Banyak yang pulang kampung. Tapi Minggu sore, siswa yang baru mudik biasanya bawa oleh-oleh atau makanan atau mentraktir kawan. Ada juga kebiasaan nginap di rumah teman di kampungnya. Dengan cara ini, siswa mengenal keluarga teman dan kampungnya. Saya lebih sering diajak ke Padang. Sebab, ada transpor gratis. Naik kereta api batu bara!
Kami jalan kaki ke stasiun kereta api Kayutanam. Nah, saat kereta api bergerak, kami melompat dan berdiri di antara gerbong. Meski bising dan berdebu, panas dan berdiri sepanjang jalan, kami senang-senang saja. Sampai di stasiun Simpang Haru Padang, cari mesjid buat cuci muka yang kotor.
Karena sering ke Padang, meski saya berasal dari Payakumbuh, saya jadi mengenal kota ini. Dan ini sangat membantu, saat saya kuliah di Universitas Andalas setelah tamat INS. Naik kelas ke RD 5 saya juga belajar mengelas. Karena mengintip dari kaca pelindung, serbuk las masuk ke mata. Rasanya pedih sekali dan tak bisa tidur. Ada teman menyarankan agar mata ditempeli irisan kentang.
Berbeda dengan sekolah asrama lain, di INS hubungan siswa senior dan yunior tidak kaku dan berjarak. Pengaturan kamar disengaja diisi oleh anak SMA dan SMP. Rasa senasib dan sepenanggungan membuat mereka dekat.
Kabarnya, imej INS sekolah anak nakal sudah terbentuk sejak tahun 70-an, sebelum saya masuk. Memang, yang masuk INS kebanyakan anak-anak nakal, atau paling tidak bermasalah di rumah. Tapi, setahu saya, tidak ada yang terlibat narkoba. Nakal, tapi tidak kurang ajar.
Nakal seperti berkelahi, kabur dari rumah, salah pergaulan, kurang perhatian orang tua karena sibuk, dan sebagainya. Namun, dibalik itu, teman-teman saya di INS umumnya anak pintar dan orang tuanya kelas menengah ke atas. Karena banyak yang nakal, akibatnya siswa INS di asrama saling waspada. Artinya, tidak mudah berbuat nakal di tengah orang nakal. Nakal bisa juga diartikan kreativitas yang kurang tersalurkan. Altivitas yang padat di INS menyebabkan kita sibuk dan bisa mengisi waktu luang.
Jangan coba-coba pelit kalau tinggal di asrama INS. Koper dari peti kayu yang tercium bau rendang, akan diguncang-guncang karena tak mau bagi kawan. Akibatnya bisa ditebak. Minyak dan dedak rendang akan meleleh ke pakaian. Atau ada yang menyimpan roti dalam lemari, tapi pelit. Lemari dari triplek itu dicongkel, sebelah tangan menyusup, kaleng roti dibuka, lalu roti ditampung pakai sarung.
Saat sore tiba, saya sering berpikir, ngapain saya kesini? Rasanya saya tidak senakal yang dikira orang. Dari situlah kesadaran mulai datang. Saya memandang pohon mahoni di sepanjang jalan masuk INS. Sinar matahari seolah tak sanggup menembus kerimbunan daunnya.
Bedanya dengan sekolah lain, siswa INS sekolah para seniman. Cukup banyak seniman besar yang lahir dari INS. Sastrawan AA Navis, Mara Karma, Mochtar Lubis. Saat saya sekolah di INS saya bertemu dan bergaul dengan Body Dharma, perupa dan pematung serta Asri Rosdi seorang pelukis.
Saya bukan seniman. Tapi bergaul dengan seniman, saya menemukan orang-orang kreatif, spontan, dan nyeleneh. Â Tiga tahun di INS terasa lama. Tapi, setelah tamat dari INS rindu suasana, persahabatan, kesetiakawanan yang tidak bakal didapat dari sekolah lain. Â Saat menjadi mahasiswa, tempaan di INS membuat saya lebih tahan banting.
Sejak awal kuliah, saya berpikir keras. Bagaimana caranya kuliah sambil bekerja dan dapat uang. Mahasiswa dari daerah dibekali uang bulanan, saya tidak menentu dan di bawah standar. Sampai pernah ibu saya memberikan uang receh dari celengannya. Kata-kata ibu saya yang tak akan saya lupakan, jangan mengeluh tak punya sepatu, ada orang yang tak punya kaki…
Muncul ide membuat stiker dan dijual di kampus. Saya titip di koperasi, kurang laku. Saya nekad, lalu menggelar lapak di teras kampus seperti kaki lima. Seorang teman sama-sama asal Payakumbuh bilang, saya merendahkan diri sendiri. Saya tak perduli. Toh, saya tidak mencuri.
Suatu hari, saya dipanggil dosen. Saya sering tak masuk dan mahasiswa tak bisa ujian kalau absennya kurang. Saya jumpai ibu dosen yang cantik itu dan bertanya: Ibu pilih mana, mahasiswa rajin masuk tapi tidak mengerti kuliah Anda, atau jarang masuk tapi dia paham yang Anda ajarkan?
Sang dosen terdiam. Bukannya menjawab pertanyaan saya, dia malah balik bertanya, ” Anda dulu SMA-nya dimana?,” katanya. ” INS Kayutanam,” jawab saya, mantap. Ketika selesai ujian, dari 45 mahasiswa, hanya 3 orang dapat nilai A. Salah satunya saya.
Bertahun-tahun kemudian, saat putra saya Axel Ariel Muhammad belajar di pesantren Darunnajah, Ulujami Jakarta Selatan sejak tamat SD sampai tamat SMA. saat pertama masuk asrama, saya bertanya ke anak saya, bagaimana rasanya tinggal di asrama. ” Kayak tinggal di penjara,” katanya, spontan. Saya tertawa lalu berkata,” seperti itulah yang saya bilang ke nenekmu dulu, saat saya masuk asrama,” jawab saya.
Tiga tahun di INS membuat saya lebih siap hidup susah, mandiri, dan tidak gampang menyerah. Hanya, saya bosan. Kuliah ternyata banyak waktu luang sia-sia. Saya mulai mencari cara dapat uang membiayai diri sendiri.
Sadar atau tidak, INS sekolah anak nakal itu, membentuk proses kreatif saya di kemudian hari. Saya tamat INS tahun 1987. Saya satu-satunya siswa INS tahun itu yang diterima di Universitas Andalas. Bukan karena pintar, karena murid INS memang sedikit. (bersambung)