Hobi membaca, menulis opini selama enam tahun, jadi surveyor, interviewer dan meneliti, itulah modal saya jadi wartawan. Saya bergabung dengan surat kabar Riau Pos di Pekanbaru sejak 1 Maret 1996. Saya punya dua pilihan. Jadi dosen di Universitas Riau atau jadi wartawan.
Saya tidak hapal kota Pekanbaru. Jaraknya dari Payakumbuh 188 kilometer. Satu-satunya surat lamaran kerja yang saya kirim sejak tamat kuliah, ya ke Riau Pos. Saya minta bantuan adik ibu saya paling kecil Suasty Chadra, satu-satunya saudara kami di Pekanbaru.
Saya sempat datang ke jurusan Sosiologi Fisip Universitas Riau. Pengalaman buruk di kampus, teringat lagi. Saat panggilan wawancara datang, saya pikir jalan hidup saya jadi wartawan. Padahal, saat saya mau berangkat ke Pekanbaru, mama saya sakit keras dan masuk rumah sakit. Untunglah, saat itu ada paman saya Indomardi. ‘’Pergilah. Biar kami yang menjaga Mama,’’ katanya. Saya pergi dengan hati gundah. Mama diinfus sampai berbotol-botol.
Saya bertemu dengan petinggi Riau Pos. Amril Noor, Busra Algeri, Rida K Limasi dan Mafirion, yang saat itu koordinator liputan. Kabar yang saya dengar, saat itu tidak ada lagi penerimaan wartawan baru. Ini malah ada tiga orang reporter baru. Dari awal saya masuk, auranya sudah lain. Suasana tegang, penuh persaingan dan keras.
Saya biasa mengetik dengan mesin tik. Saat menulis skripsi, baru belajar mengetik di rental komputer teman saya. Nama programnya chi writer. Ketik, simpan. Ketik, simpan. Ternyata, di kantor surat kabar itu, pakai peogram WS-4. Kursornya berkedip-kedip di layar yang hitam.
Saya menjadi wartawan baru bersama dua wartawan lainnya. Mereka sudah berpengalaman. Saya? Hanya menulis opini sebagai penulis lepas. Selain tiga wartawan baru ini, juga diterima bekerja dua orang setter. Tugasnya mengetik ulang berita yang dikirim melalui faksimili atau modem.
Beberapa wartawan yang agak senior, mengira saya setter. Saya disuruh mengetik beritanya. Wartawati pula. Saya senang-senang saja. Sekalian belajar komputer. Tiga hari pertama itu, kerja saya ya mengetik berita wartawan lain. Saya catat bagaimana membuka file, menyimpan berita dan sebagainya. Maklum, saya tidak pernah kursus komputer.
Hari kedua, saya masih menjadi pengetik berita atau setter. Saya heran, kok wartawati itu menyuruh saya mengetik tulisan orang lain dan diakui sebagai tulisannya? Bukankah ini plagiat? Saya berpikir keras, bagaimana cara membuat berita. Saya biasa menulis opini.
Kesempatan itu datang. Saya tinggal di rumah tante saya, di Kampung Bukit, Rumbai. Kantor Riau Pos di Jalan Kuantan Raya. Tante saya bekerja di bagian sipil Polresta Pekanbaru. Dia memberi saya informasi. Ternyata, di rumah sakit banyak yang kemalingan, saat menunggu keluarganya dirawat.
Inilah berita pertama saya. Warga kemalingan di rumah sakit. Saya datang ke rumah sakit untuk konfirmasi. Saat bertemu humasnya, perempuan, dia membantah. Saya menjawab sekenanya. ‘’Bagi saya, ibu bilang iya atau tidak, itu sudah jawaban,’’ kata saya. Dia kaget. ‘’Jangan begitulah. Saya mau memberi informasi, tapi jangan tulis nama saya,’’ katanya, bernada kesal.
Saat saya mengetik berita itu, tiba-tiba wartawati yang biasa menyuruh mengetik beritanya, berdiri di belakang saya. ‘’Kau ini ya? Kalau bikin berita harus konfirmasi,’’ katanya, keras dan tampak marah. Saya heran. Bukankah saya menemui humas rumah sakit untuk konfirmasi? Saya diam saja. Suatu saat, kau harus salut sama aku, saya membatin.
Saya kagum dengan wartawan yang membuat tiga sampai empat berita, setiap hari. Saya hanya mampu membuat satu berita tiga hari sekali. Berita kedua saya tentang seorang mahasiswa yang tewas disengat listrik, sehari sebelum diwisuda. Saya datang ke rumahnya melayat, sekaligus mencari informasi. ‘’Awak siapa?,’’ kata ayah almarhum. ‘’Saya teman almarhum,’’ kata saya tergagap. Kejadian itu, menjadi berita human interest.
Karena saya kurang produktif, koordinator liputan saya, sambil naik tangga di kantor bicara kepada saya. ‘’Kalau tiga bulan nilai kau berturut-turut C kau keluar,’’ katanya, ketus. Dia suka bercarut. Belakangan, kelakuannya menular kepada saya. Saya tidak patah semangat. Kalau tidak ada berita, saya menulis feature.
Belum sampai tiga bulan jadi wartawan, saya dipanggil korlip yang kami sapa Bang Ion. Ia menawari saya pindah ke Dumai. Sebab, ada wartawan disana bermasalah. Saya iyakan saja. Padahal, saya belum pernah ke Dumai. Saya sudah siap-siap pindah. Toh, barang saya sedikit. Satu ransel kecil dan satu kardus kecil buku. Teryata, saya batal pindah ke Dumai. ‘’Kau mulai besok tugas ke Perawang saja,’’ kata Bang Ion. (bersambung)