19.3 C
Indonesia
BerandaSOCRATESJOURNEYJadi Wartawan itu (Tidak) Enak (6)

Jadi Wartawan itu (Tidak) Enak (6)

-

Ternyata, Perawang itu jauh. Jaraknya 65 kilometer dari kota Pekanbaru. Dan 70 kilometer dari ibu kota Kabupaten Siak. Saat itu, merupakan sebuah kampung Tualang Perawang. Yang ada, kantor pembantu camat. Jalannya sebagian aspal, sebagian tanah. Kesinilah saya ditugaskan. Sendirian. Pulang pergi. Setiap hari.

Setiap pagi, saya naik angkot ke Pasar Bawah. Dari sini, ada angkot plat hitam ke Perawang. Kalau musim kemarau, saya menutup mulut pakai sapu tangan seperti ninja, agar tidak makan debu. Kalau musim hujan, jalannya licin dan berlumpur. Yang bisa  diwawancarai, ya camat pembantu dan ketua LKMD.

Namun, disinilah kemampuan reportase atau laporan pandangan mataku terasah. Meski saat itu Perawang hanya sebuah desa, penduduknya 15.000 jiwa. Sebab, disanalah lokasi pabrik kertas PT Indah Kiat Pulp and Paper, milik perusahaan konglomerat Sinar Mas.

Saya menulis berbagai masalah sosial dan lingkungan. Mulai dari pencemaran udara, warga kesulitan air bersih, sampah yang berserakan, hingga ketidakpedulian perusahaan kertas itu. Sejak Indah Kiat membangun pabrik, terjadi peningkatan drastis jumlah penduduk Perawang dikarenakan oleh kedatangan para pekerja dari berbagai daerah.

Saya berangkat pagi-pagi ke Perawang, pulang menjelang magrib ke kantor, mengetik berita. Saya sering cuci muka dulu dengan air kran depan kantor. Lalu, terdengar teriakan dari ruang redaksi. ‘’Perawang masuk…’’ entah siapa. Biasanya, saya pulang ke Rumbai jam 9 malam. Kadang, saya menumpang motor wartawan senior, agar lebih mudah cari angkot.

Saya merasa, tidak banyak wartawan lain yang mau mengajarkan membuat berita. ‘’Ajarilah aku bikin berita, Bang,’’ kata saya kepada beberapa wartawan senior. Apa jawab mereka?  ‘’Gampang itu. Kau bikin saja berita banyak-banyak,’’ katanya, enteng. Atau begini. ‘’Baca saja berita Antara, lalu kau ubah-ubah sedikit,’’ katanya. Ah, kalian bukan wartawan hebat, kataku dalam hati.

Yang memuat saya terhibur, saat saya sedang mengetik berita, Rida K Liamsi yang saat itu pemimpin redaksi, melihat-lihat print out koran yang akan dicetak. Saya mendengar ia berkata. ‘’Socrates ini dibuatnya Perawang itu seperti kota besar,’’ katanya. Saya tersenyum. Oplah Riau Pos yang semula hanya 25 eksemplar, naik jadi 150 eksemplar di Perawang.

Saya berkenalan dengan humas Indah Kiat. Saya masih ingat namanya. Ia beberapa kali mengajak saya bertemu sambil makan siang. Saat pulang, ia memberi saya amplop. Saya menolak, tapi ia memaksa. Amplop itu, tidak saya buka, lalu ditaruh di bawah pakaian dalam lemari plastik, dalam kamar saya yang sempit.

Amplop yang saya tahu berisi uang, terkumpul sampai lima buah. Saya buka. Isinya ada yang Rp50 ribu, Rp100 ribu dan terbanyak Rp125 ribu. Padahal, saat itu gaji saya Rp150 ribu. Astaga? Lebih banyak dari gaji saya sebulan.

Beberapa hari kemudian, saya jumpai Pak Rida dan berkata,’’ Mengapa orang lain memperhatikan saya, mengapa bukan perusahaan?,’’ kata saya. Ia balik bertanya,’’ Maksud kau apa?,’’ ujarnya. ‘’Naikkan gaji saya, Pak,’’ jawab saya. ‘’Kau ini, sama seperti saat pertama kali jadi wartawan. Kalau ditraktir makan, ya biasalah,’’ katanya.

Suatu hari, saya dipanggil Koordinator Liputan. ‘’Jumpai orang Indah Kiat di hotel Mutiara Merdeka, malam ini,’’ katanya. Saya mengangguk. Malam itu, saya datang naik motor pinjaman dari suami tante. Saya kira staf humas yang harus dijumpai malam itu. Kami berkenalan. Ia menjelaskan apa saja yang mereka lakukan terhadap masyarakat Perawang.

Saya dan orang Indah Kiat itu berdebat. Saya tersinggung karena dia bilang dulu juga wartawan. Dan saya wartawan yang masih fresh. Entah apa maksudnya. Setelah itu, saya diajak makan. Saya ditawari menu ikan segar, lobster, udang dan makanan mahal lainnya. ‘’Saya makan nasi goreng saja,’’ kata saya. Mereka heran. Dasar kampungan, kata saya dalam hati.

Saat mau pulang, kedua orang itu memberi saya kartu nama. Saya masukkan ke kantong kemeja. Saya berhenti di jembatan Elekton. Penasaran, siapa kedua orang ini? Di bawah sinar kuning lampu jembatan, saya membaca kartu nama. Ternyata, Njau Kweet Mien, Direktur Utama PT Indah Kiat dan wakilnya.

Saya tidak pernah belajar foto. Saya sering melihat obyek foto menarik di Perawang. Saya pinjam kamera saku tante saya. Mereknya Fuji. Pakai film. Saya memotret seorang anak kecil dan neneknya membawa ranting untuk kayu bakar. Latar belakangnya, ada truk balak yang membawa kayu gelondongan. Sangat kontras.

Foto saya pakai kamera saku itu, terbit di halaman satu. Fotografer utama surat kabar itu bertanya kepada saya. ‘’Kau pakai kamera apa?,’’ katanya. ‘’Pakai kamera ini,’’ kata saya memperlihatkan kamera Fuji itu. Hampir lima bulan tugas di Perawang, saya ditarik kembali ke Pekanbaru. Saya tidak tahu apa sebabnya.

Saya hanya menduga, ada permintaan khusus dari perusahaan kertas itu. Mungkin mereka merasa terganggu dengan berita dan tulisan saya. Tidak ada yang memberi penjelasan. Saya juga malas bertanya. Beberapa kali, saya menginap di rumah Bang Ion, korlip saya. Suatu pagi, saya disuruh menjumpai seorang pengusaha dan wawancara.

Pengusaha itu, menatap saya dari kepala sampai ujung kaki. Saya belum mandi. Baju pun kusut. ‘’Ayo, silakan. Mau tanya apa?,’’ katanya. Saya mulai wawancara. Tidak sampai 10 menit, ia mengerutkan kening dan berkata,’’ tajam juga pertanyaan kau ya? Saya diam saja. Pengusaha Ketua Gapensi yang saya wawancarai itu, namanya Rusli Zainal, yang belakangan menjadi Gubernur Riau dua periode, lalu ditangkap KPK.

Setelah bekerja sekitar delapan bulan jadi wartawan, saya dipanggil bos saya. Saya mau dipindahkan ke Bukittinggi, sebagai langkah ekspansi Riau Pos ke Sumatera Barat. (bersambung)

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

LATEST POSTS

Jadi Wartawan itu (Tidak) Enak (7)

Pindah dari Pekanbaru yang panas ke Bukittinggi yang dingin, bukan perkara mudah. Kantornya bekas rumah sakit zaman Belanda di Mandiangin. Saya pindah tugas bersama satu...

Jadi Wartawan itu (Tidak) Enak (5)

Hobi membaca, menulis opini selama enam tahun,  jadi surveyor, interviewer dan meneliti,  itulah modal saya jadi wartawan. Saya bergabung dengan surat kabar Riau Pos di...

Jadi Wartawan itu (Tidak) Enak (4)

Dengan berbagai kegiatan itu, menulis, bikin kegiatan seni dan olahraga, jadi tim manajer Universitas Andalas ke berbagai kota, hingga membuat majalah kampus yang kami namakan...

Jadi Wartawan itu (Tidak) Enak (3)

Sejak tulisan pertama saya terbit di surat kabar, selain bangga, ada energi baru untuk terus menulis. Tulisan itu saya kliping dan simpan. Saya lupa tanggal...
[td_block_social_counter style="style8 td-social-boxed td-social-font-icons" facebook="tagdiv" twitter="tagdivofficial" youtube="tagdiv" custom_title="Follow us" block_template_id="td_block_template_11" border_color="#fbb03b" f_header_font_size="eyJhbGwiOiIyMCIsInBvcnRyYWl0IjoiMTgifQ==" f_header_font_weight="600" f_header_font_family="702" f_header_font_transform="uppercase" tdc_css="eyJwb3J0cmFpdCI6eyJkaXNwbGF5IjoiIn0sInBvcnRyYWl0X21heF93aWR0aCI6MTAxOCwicG9ydHJhaXRfbWluX3dpZHRoIjo3NjgsInBob25lIjp7Im1hcmdpbi1ib3R0b20iOiI0MCIsImRpc3BsYXkiOiIifSwicGhvbmVfbWF4X3dpZHRoIjo3NjcsImFsbCI6eyJtYXJnaW4tYm90dG9tIjoiMzAiLCJkaXNwbGF5IjoiIn19"]

Most Popular

spot_img