Pindah dari Pekanbaru yang panas ke Bukittinggi yang dingin, bukan perkara mudah. Kantornya bekas rumah sakit zaman Belanda di Mandiangin. Saya pindah tugas bersama satu karyawan pemasaran, satu kapoltir iklan. Kami merekrut empat orang karyawan lokal. Tak lama kemudian, teman saya Ade Adran Syahlan, menyusul pindah. Kami tinggal di kantor itu.
Berita-berita dari Padang, Bukittinggi, Payakumbuh, Pariaman dikirim pakai modem dari kantor itu, ke Pekanbaru. Setelah koran dicetak jam 03.00 dinihari, dibawa ke Bukitinggi. Naik mobil Toyota Hiace kontrakan. Kecepatan mobil itu macam setan. Jam 07.00 pagi, koran sampai di kantor.
Suatu pagi, saya heran melihat supir ekspedisi koran itu. Dia pakai walk man dan berkata,’’ Aduh, maaflah. Aku sudah tidak tahan lagi,’’ ujarnya. Saya heran. Apa maksudnya. Saya lihat, dia duduk di kursi belakang kantor, lalu menggoyang-goyangkan kepala sambil mendengar musik. Oh, inilah yang disebut mabuk ekstasi. Entah darimana dia dapat pil setan itu.
Kejadian itu saya bikin tulisan. Pakai nama samaran. Keesokan hari, supir itu marah besar. Dia nyaris meninju saya. Saya mengelak dan berkata,’’ aku tidak mau koran terlambat sampai ke kantor. Berbahaya mengemudi sambil menelan ekstasi,’’ujarku. Dia diam saja. Matanya merah.
Kekhawatiranku terbukti. Aku mendapat kabar, ia pernah menabrak taksi yang sedang parkir di Pasar Bawah, Pekanbaru. Menabrak kerbau di Pangkalan, menjelang masuk ke kota Payakumbuh. Saya juga pernah dicari-cari oknum tentara, setelah menulis pelacuran terselubung di sebuah tempat hiburan di Payakumbuh.
Celakanya, saat mengirim berita ke Pekanbaru, kode wartawan di akhir tulisan terpotong. Redaktur di Pekanbaru mengira, itu tulisan wartawan dari Payakumbuh. Akibatnya, wartawan temanku itu, dikejar-kejar orang. Hebatnya, dia tidak pernah menyebut namaku. Aku merasa tidak nyaman di Bukittinggi, merasa ada yang mengintai malam-malam. Aku pergi ke Pariaman, membuat berita dari sana, untuk sementara.
Di Bukittinggi, saya bergaul dengan beberapa wartawan senior, yang usianya jauh di atasku. Mereka menganggap saya sebagai adik, meski media kami berbeda. Aku dari Riau Pos yang baru berkembang. Mereka dari surat kabar yang sudah lama seperti Haluan, Singgalang dan tabloid Canang.
Meski tidak bergabung ke organisasi wartawan di Bukittinggi, saya diajak ikut perjalanan wartawan ke Malaysia, akhir tahun 1996 itu. Bersama rombongan wartawan Bukittinggi inilah perjalanan pertama saya ke luar negeri, ke Seremban, Melaka, Port Dikson, Malaysia.
Kami naik mobil sedan ke Dumai. Mobilnya mogok di jalan. Lalu, naik ferry ke Johor. Kami berkeliling ke beberapa kota di Malaysia. Saya wartawan yang paling muda dalam rombongan itu. Pengalaman keluar negeri pertama kali sebagai wartawan, bagi saya sangat berkesan.
Setelah bertugas di Bukittinggi selama beberapa bulan, saya mendapat surat pemberitahuan. Isinya, pindah tugas ke Batam. Saya kaget. Juga senang. Sebab, kakak saya Cory sejak tahun 1989 di Batam, bersama suaminya. Adikku Ira menyusul ke Batam tahun 1991. Sedangkan ibuku menetap di Batam sejak 1994.
Aku pun berpamitan dengan kawan-kawan wartawan di Bukittinggi, termasuk dengan Kabag Humas Pemko Bukittinggi dan stafnya. Aku segera berangkat ke kantor di Pekanbaru, mengambil biaya tiket pesawat ke Batam. Aku malah heran dipanggil Rida K Liamsi dan bertanya,’’ Engkau mau kemana?’’ katanya. ‘’Tapi katanya saya pindah ke Batam, Pak,’’ jawabku.
‘’Tak usahlah ke Batam. Kau balik lagi ke Bukittinggi. Jadi Kepala Perwakilan di sana,’’ katanya. ‘’Apakah keputusan ini tidak terburu-buru, Pak,’’ kataku, masih terheran-heran dengan apa yang baru aku dengar. ‘’Aku juga dulu tidak tahu bagaimana mengurus koran ini, Tes,’’ kata Pak Rida, kepada saya.
Maka, saya balik lagi ke Bukittinggi. Menjabat sebagai Kepala Perwakilan Riau Pos Sumatera Barat. Padahal, saya baru bekerja sebagai reporter sekitar 9 bulan! Mau tidak mau, saya harus memimpin para wartawan perwakilan Sumbar yang umumnya, usianya jauh di atas saya dan sudah berkeluarga. Hanya satu orang yang lebih muda dari saya.
Perwakilan Riau Pos saat itu ada empat. Perwakilan Tanjungpinang, Batam, Dumai dan Sumbar. Saya mulai mengurus target berita yang harus dikirim setiap hari ke Pekanbaru. Memonitor iklan dan pemasaran. Setiap kami tawarkan koran Riau Pos ke calon pelanggan, mereka selalu bertanya. ‘’Apa? Kantor Pos? Dengan sabar, kami jelaskan bahwa ini surat kabar. Soalnya, warga Sumbar tidak terbiasa dengan nama koran baru itu.
Koran lokal seperti Haluan, Singgalang dan Semangat, sudah lama malang melintang. Malah, pemasarannya menembus Pekanbaru dan Jambi. Setahun saya jadi wartawan dan kepala perwakilan, saya jadi tuan rumah rapat Jawapos Group wilayah Barat. Saya berkenalan dengan Pimred Jawapos Dhimam Abror.
Saya diikutkan pelatihan redaktur di kantor Jawa Pos saat itu di Karah Agung, Surabaya. Pengajarnya mulai dari Nany Wijaya, Arief Afandi hingga Dahlan Iskan. Peserta pelatihan sebanyak 30 orang itu, berasal dari berbagai daerah. Setelah pelatihan, semua peserta mendapat rompi biru berlogo Jawa Pos News Networks (JPNN).
Begitu saya tiba di Bukittinggi, ada surat tugas baru. Pindah ke Batam. Kali ini, benar-benar pindah, saya membatin. Bulan Juni 1997, saya pindah ke Batam. Info yang saya terima, kantornya di Orchid Point. Saya mengira, Batam keren sekali, Namanya berbau asing.
‘’Kau hati-hati di Batam. Setiap wartawan yang aku kirim ke Batam gagal,’’ kata Rida K Liamsi. Gagal? Kenapa? Itulah pertanyaan dalam benak saya dalam pesawat Merpati Foker 28 yang membawa saya ke Batam. Inilah pertama kali saya naik pesawat. Saya melamun, sambil memandang awan di angkasa. (bersambung)