Ternyata, kantor Riau Pos Perwakilan Batam itu, hanya ruko tiga lantai. Namanya, komplek Orchid Point, di Sei Jodoh. Ransel berisi pakaian dan buku, saya taruh di musala. Setelah melapor, saya memutuskan tinggal di kantor. Belakangan saya dapat kabar, ada yang tidak senang saya pindah ke Batam.
Jumlah wartawan saat itu tidak banyak. Delapan orang, termasuk saya yang baru pindah dari Bukittinggi. Di Tanjungpinang tiga orang. Ternyata, sebelum saya ke Batam, sudah sepuluh orang wartawan yang keluar atau pindah kerja ke media lain. Ini yang dimaksud Pak Rida, wartawan yang bertugas di Batam, gagal.
Kakak saya tinggal di Bengkong. Adik di Sekupang. Mama saya di Batubesar. Jadi, sangat tidak praktis kalau saya memilih tinggal dengan keluarga. Ransel berisi pakaian, saya taruh di musala kantor. Saya yang sebelumnya Kepala Perwakilan Riau Pos Sumatera Barat, pindah sebagai redaktur ke Riau Pos Perwakilan Batam.
Saat itu, bagi saya Batam menakutkan. Ledakan penduduk, angka kriminalitas tinggi, prostitusi, perdagangan manusia, pelayanan publik yang amburadul, biaya hidup mahal, dan yang paling menakutkan: bentrok antar kelompok.Saya tinggal di kantor. Setelah semua karyawan pulang, ada kasur yang bisa digelar di bawah meja komputer. Kasurnya banyak bekas iler dan bau Firaun. Jadi, suasana hidup saya seperti bekerja. Siang dan malam. Pertama kali jadi wartawan, gaji saya Rp150 ribu. Saat jadi kepala perwakilan, naik jadi Rp300 ribu. Begitu pindah ke Batam, naik lagi jadi Rp450 ribu karena ada tunjangan kemahalan.
Meski saya pindah ke Batam sebagai redaktur, saya bekerja seperti reporter. Tiap hari, cari berita. Juga memotret. Tak perduli siang atau malam. Rata-rata, saya membuat empat sampai lima berita. Tiap hari. Setiap bulan, nilai saya A+. Wartawan yang dapat nilai A dilihat dari produktivitasnya, dapat bonus Rp60 ribu setiap bulan.
Tinggal di kantor, meski gratis, banyak tidak enaknya. Suasana kerja terus. Tidur larut malam karena masih ada berita yang mau diketik. Bangun terpaksa pagi-pagi karena karyawan sudah datang. Pintu kaca di lantai tiga ruko yang jadi kantor itu, selalu berderit saat dibuka.
Saya heran, banyak orang menawarkan naik motor. Oala, Batam lebih duluan ada tukang ojek. Baru pada bulan ketiga di Batam, saya punya motor bekas. Honda GL Pro warna hitam. Saya bikin berita, memotret dan bikin tulisan. Pengalaman sebagai penulis opini, sehingga saya mampu membuat tulisan panjang.
Berbeda dengan wilayah tugas saya sebelumnya, di Pekanbaru dan Bukittinggi, Batam sangat dinamis. Orang-orang berdatangan dari berbagai daerah ke Batam. Mencari kerja. Ada yang datang sendiri, ada pula yang didatangkan, yang disebut program Antar Kerja Antar Daerah.
Kawasan industri Batamindo yang didirikan 1990 membutuhkan banyak karyawan. Tapi, sebagian besar perempuan. Akibatnya, laki-laki susah cari kerja. Pilihan paling cepat, jadi tukang ojek. Saat itu, kondisi Batam semrawut. Pedagang kaki lima dimana-mana. Pasar Jodoh adalah pasar yang paling ramai saat itu.
Sejak di Batam pula, saya menulis berita perdagangan orang, yang dikenal dengan TKI dan TKW ilegal. Mereka didatangkan dari berbagai daerah, terutama Jawa, lalu diberangkatkan dari Batam. Tujuan utamanya Malaysia. Kalau TKI tampak lebih bebas kemana-mana. Tapi kalau TKW dijaga ketat dan kadang disekap.
Tekong TKI tidak mau rugi kalau wanita-wanita itu, melarikan diri. Beberapa kali terungkap, puluhan TKW disekap di ruko, diberi makan yang dibagikan dari ember. Sungguh mengenaskan. Saya sampai bosan menulis berita perdagangan orang ini. Sebab, hulunya di daerah asal. Masalahnya menumpuk di Batam.
Medio 1997 itu Batam seperti kota mafia. Para pencari kerja terus berdatangan. Angka kriminalitas tinggi. Pelacuran, perjudian, dunia hiburan malam, warung remang-remang, rumah liar, kios liar menjadi pemandangan biasa di Batam. Saya merasa, dengan latar belakang disiplin ilmu Sosiologi, Batam seperti ’’laboratorium hidup’’ buat saya.
Sebut saja misalnya, masalah kemiskinan, kesenjangan kaya dan miskin, disparitas pendapatan, kriminalitas, kawasan kumuh atau slum area, masalah perkotaan, urbanisasi, prilaku menyimpang hingga birokrasi dan kelompok kepentingan, teori-teori yang sudah saya pelajari di bangku kuliah. Di Batam, saya melihat faktanya.
Saya menulis kisah wanita yang terpaksa menjadi wanita penghibur di karaoke ala Batam. Namanya, karakoe. Entah sengaja, entah tidak. Setelah tulisan itu terbit, saya datang lagi ke sana. ‘’Kau tulis aku ya Bang,’’ kata wanita itu. Dia mabuk. Saya buru-buru pergi. Kok bisa dia tahu? Padahal, saya menulis kisahnya dengan nama samaran.
Di kawasan Jodoh, saat itu sangat terkenal transaksi pelacuran di pinggir jalan, belakang BCA Jodoh. Lelaki hidung belang, bertemu dengan wanita tuna susila di bawah pohon. Di kegelapan. Kantor saya, tak jauh dari situ. Dari berita-berita kelas bawah, aku mulai dikenal publik setelah menulis berita perseteruan dua pengusaha di Batam. Siapa mereka? (bersambung)