19 C
Indonesia
BerandaSOCRATESJOURNEYJadi Wartawan itu (Tidak) Enak (9)

Jadi Wartawan itu (Tidak) Enak (9)

-

Batam makin ramai. Terutama Jodoh dan Nagoya. Saya dikenalkan marketing iklan kepada seorang pengusaha. Tujuannya, dia dapat iklan, saya dapat berita. Ya, tidak masalah. Saya wawancara tentang bisnisnya. Beritanya terbit keesokan harinya. Tiga hari kemudian, pengusaha itu mengundang saya ke kantornya.

‘’Sebenarnya, saya sudah tidak percaya lagi sama wartawan,’’ katanya. Dia mengeluarkan kliping surat pembaca yang dikirimnya ke media. Juga berkas putusan dari Pengadilan Tinggi, Riau. Saya tersinggung. ‘’Terserah Anda mau percaya atau tidak. Tapi, jangan samakan semua orang,’’ jawab saya. Pengusaha itu diam saja.

Saat saya mau pulang, berkas itu diserahkan kepada saya. Juga sebuah amplop berwarna coklat muda. Saya menduga, isinya uang. ‘’Ini apa Pak? Bapak bilang, tidak percaya lagi pada wartawan. Bapak yang merusak profesi wartawan. Saya tidak janji menulis berita ini. Saya pelajari dulu,’’ kata saya. Berkas itu saya ambil, amplopnya saya tinggalkan.

Saya baca dan pelajari berkas itu di kantor. Saya cari berita-berita perseteruan dua pengusaha ini sebelumnya. Bukan searching internet dan ketik di google seperti sekarang. Saya bongkar kliping bulanan koran. Tebal. Koran sebulan dikliing jadi satu. Saya cek satu persatu beritanya. Ketemu. Ternyata, berita-berita sebelumnya berat sebelah dan tidak berimbang.Kasus perseteruan itu dimulai, ketika pengusaha A (sebut saja begitu) meminta bantuan pengusaha B sebagai kontraktor, merenovasi pabrik. Termen pertama sampai ketiga, tidak ada masalah. Namun, termen keempat pengusaha A tidak mau membayar tagihan pengusaha B. Alasannya, pekerjaannya tidak beres dan tidak sesuai harapan. Entah bagaimana ceritanya, pengusaha B lalu menggugat pengusaha A ke pengadilan negeri Batam sebesar Rp5 Miliar.

Kasus ini bikin heboh. Sidangnya diberitakan media. Di Pengadilan Negeri Batam, pengusaha A menang. Pengusaha B melakukan banding. Ia menang di Pengadilan Tinggi, Pekanbaru. Saat itulah, saya baru pindah ke Batam dan kenal dengan pengusaha B.

Saya mulai menulis berita perseteruan itu. Tanpa konfirmasi pun, berita itu layak dimuat, karena keputusan pengadilan. Saya tidak kenal dengan pengusaha A. Saya cari nama perusahaannya di buku daftar telepon yellow page. Ketemu. Saya telepon pakai telepon kantor. Entah kebetulan, pengusaha A mengangkat telepon saya. ‘’Saya mau konfirmasi soal kasus Anda yang kalah di pengadilan tinggi,’’ kata saya.

Dia terdiam sejenak, lalu berkata,’’ Anda bisa datang ke kantor saya,’’katanya. ‘’Bisa,’’ jawab saya. Keesokan harinya, saya datang ke kantor pengusaha itu, naik motor. Kantornya besar. Didominasi warna biru dan merah. Saya masuk dan menunggu di ruang tamu. Saya lihat, di bagian atas ruang tamu, penuh dengan alat mirip televisi kecil.  Itulah Close Circuit Television atau CCTV zaman dulu.

Pengusaha itu datang. Ia sangat percaya diri. Setelah berkenalan, dia malah berkata,’’ tunggu sebentar,’’ sambil berlalu, masuk ke kantornya. Tiba-tiba, ia meletakkan setumpuk uang di meja. ‘’Ambil, jangan diberitakan,’’ katanya. Saya tertegun. Jantung saya berdegup kencang. Tumpukan uang itu, saya perkirakan sekitar Rp50 juta. Uang di dompet saya Rp60 ribu.

‘’Terima kasih atas penghinaannya. Saya datang kesini mau wawancara,’’ kata saya. Pengusaha itu, menatap saya tajam. ‘’Oh, jadi mau diberitakan juga,’’katanya. Saya mengangguk. Pengusaha itu mulai bicara. Saya catat dan saya rekam. ‘’Putusan itu tidak benar,’’katanya, berapi-api. Setelah wawancara selesai, dia memaksa saya menerima uang itu. Saya tetap menolak.

Saya belajar dari pemberitaan sebelumnya yang berat sebelah. Ibarat kata pepatah, bagaikan membelah bambu. Satu injak, satunya angkat. Setelah saya bertemu lansung dengan dua narasumber yang berseteru ini, saya bisa membuat berita yang berimbang. Dua alinea untuk pengusaha A dan dua alinea untuk pengusaha B. Selebihnya, saya kutip dari keputusan pengadilan. Saya tidak mungkin melakukan hal ini, apabila saya berpihak karena menerima sesuatu.

Berita itu segera menjadi topik pembicaraan. Baik di kalangan pengusaha, maupun pejabat pemerintah. Ada satu istilah yang berkembang di kalangan wartawan saat itu. Kapal pecah, hiu kenyang. Maksudnya, kalau ada suatu kasus terungkap, wartawan lain akan beramai-ramai memberitakan dan mendapat keuntungan.

Saya tahu itu. Salah satu cara mengatasinya, berita kasus itu di blow-up terus. Saya mendatangi Ketua Kadin Batam. Saya mewawancarainya. Kebetulan, saya menulis skripsi tentang Kadin, sebagai organisasi tunggal para pengusaha. Kadin memiliki lembaga Badan Arbitrase Nasional Indonesia. Tujuannya adalah, memediasi pengusaha yang bertikai.

Tulisan itu dimuat bersambung. Hasil wawancara saya dengan Bambang Sujagad, Ketua Kadin Batam, saat itu. Saya terkejut, setelah tulisan itu terbit, kedua pengusaha yang berseteru itu, menelepon saya. Pada hari yang sama. Tapi jamnya berbeda. ‘’Saya merasa tersindir dengan tulisan Anda,’’kata seorang pengusaha.

‘’Anda yang bodoh,’’ jawab saya. ‘’Mengapa Anda bilang begitu?’’ katanya. ‘’Kalau pengusaha bertikai, bisa diselesaikan melalui Kadin. Tapi, kalau Anda menempuh jalur hukum, Anda harus bayar pengacara dan sogok wartawan. Yang jelas, Anda alan rugi waktu, rugi uang dan yang paling berat, rugi nama baik,’’ jawab saya. Pengusaha itu terdiam.

Baru bertahun-tahun kemudian, kedua pengusaha Batam itu berdamai. Saya tidak ikut dalam proses perdamaian itu. Namun, kedua pengusaha itu, menjadi teman baik, narasumber yang kredibel buat saya. Sampai sekarang. Artinya, saya sudah berteman dengan mereka selama 28 tahun! (bersambung)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

LATEST POSTS

Jadi Wartawan itu (Tidak) Enak (8)

Ternyata, kantor Riau Pos Perwakilan Batam itu, hanya ruko tiga lantai. Namanya, komplek Orchid Point, di Sei Jodoh. Ransel berisi pakaian dan buku, saya taruh...

Jadi Wartawan itu (Tidak) Enak (7)

Pindah dari Pekanbaru yang panas ke Bukittinggi yang dingin, bukan perkara mudah. Kantornya bekas rumah sakit zaman Belanda di Mandiangin. Saya pindah tugas bersama satu...

Jadi Wartawan itu (Tidak) Enak (6)

Ternyata, Perawang itu jauh. Jaraknya 65 kilometer dari kota Pekanbaru. Dan 70 kilometer dari ibu kota Kabupaten Siak. Saat itu, merupakan sebuah kampung Tualang Perawang....

Jadi Wartawan itu (Tidak) Enak (5)

Hobi membaca, menulis opini selama enam tahun,  jadi surveyor, interviewer dan meneliti,  itulah modal saya jadi wartawan. Saya bergabung dengan surat kabar Riau Pos di...
[td_block_social_counter style="style8 td-social-boxed td-social-font-icons" facebook="tagdiv" twitter="tagdivofficial" youtube="tagdiv" custom_title="Follow us" block_template_id="td_block_template_11" border_color="#fbb03b" f_header_font_size="eyJhbGwiOiIyMCIsInBvcnRyYWl0IjoiMTgifQ==" f_header_font_weight="600" f_header_font_family="702" f_header_font_transform="uppercase" tdc_css="eyJwb3J0cmFpdCI6eyJkaXNwbGF5IjoiIn0sInBvcnRyYWl0X21heF93aWR0aCI6MTAxOCwicG9ydHJhaXRfbWluX3dpZHRoIjo3NjgsInBob25lIjp7Im1hcmdpbi1ib3R0b20iOiI0MCIsImRpc3BsYXkiOiIifSwicGhvbmVfbWF4X3dpZHRoIjo3NjcsImFsbCI6eyJtYXJnaW4tYm90dG9tIjoiMzAiLCJkaXNwbGF5IjoiIn19"]

Most Popular

spot_img