By Socrates – Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) adalah perusahaan pelat merah yamg diharapkan bisa meningkatkan perekonomian suatu daerah. Biasanya, dibentuk dengan Peraturan Daerah (Perda). Mengapa BUMD di berbagai daerah di Kepri tak maju-maju dan bermasalah?
Tujuan BUMD sungguh mulia. meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, memperluas pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya termasuk memperluas kesempatan berusaha dan lapangan kerja.
Otonomi daerah, mestinya peluang besar BUMD berkembang pesat. Sebab, pembentukan BUMD diatur dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah. Pesannya, BUMD harus dikelola dengan tata kelola perusahaan yang baik alias Good Corporate Governance (GCG) prinsip dasar mengelola perusahaan.
Prinsip itu antara lain, transparansi, akuntabilitas, tanggungjawab, kesetaraan dan kewajaran, efisien dan efektif, memiliki nilai ekonomi jangka panjang. Jika ada perusahaan tidak maju dan gagal, maka pemegang saham, komisaris, direksi hingga karyawannya ‘’berdosa’’ karena modalnya uang rakyat dari pajak dan restribusi.
BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki daerah. Bisa berbentuk perseroan terbatas (PT) perusahaan umum daerah (Perumda) atau perseroan daerah (Perseroda). Nah, ini dia. Fungsinya ganda. Pelayanan publik dan orientasi laba.
Pertanyaannya, apa yang terjadi dengan BUMD di berbagai daerah seperti Batam, Bintan, Tanjungpinang, Karimun, Lingga, Anambas, Natuna dan Provinsi Kepri sendiri? Padahal, Provinsi Kepulauan Riau punya potensi ekonomi besar.
Lokasi Kepri strategis, di jalur lalu lintas perdagangan dunia. Terbentang dari Selat Malaka sampai Laut China Selatan. Kepri punya 2.408 pulau. Kaya bahan tambang seperti bauksit, timah, batu besi, granit, pasir darat dan pasir laut. Belum lagi, potensi hasil laut, propinsi yang luas daratan hanya 4 persen dan 96 persen lautan.
Malah, Pulau Bintan kekayaan bauksitnya paling besar di Indonesia, yang ditemukan Belanda tahun 1924 dan ditambang pertama kali 1935 oleh perusahaan Belanda yang mengelola bernama Naamloze Vennootschap (VN) Nederlandsch Indische Bauxit Exploitatie Maatschappije (NIBEM). Informasi terbaru, Kabupaten Lingga memiliki cadangan bahan baku bauksit terbesar di Provinsi Kepri. Sekitar 168,96 juta ton.
Dulu, timah di Pulau Singkep sangat terkenal. Perusahaan Belanda Singkep Tin Maatschaappij (SITEM) tahun 1934 menggarapnya secara besar-besaran. Tahun 1959, tambang timah diambil alih pemerintah sampai akhirnya pulau itu ditinggalkan awal tahun 90-an. Pulau Singkep hari ini adalah, tragedi kota tambang yang terbuang.
Kabupaten Natuna memilki cadangan gas alam terbesar tidak hanya di Indonesia, tapi di kawasan Asia Pasifik. Cadangan gas alam Natuna mencapai 144,06 triliun kaki kubik. Di blok East Natuna, ada 49,87 trilion cubic feet (TCF) dan terbesar di Indonesia.
Anambas juga kaya gas, minyak bumi, biji besi dan batu granit. Sedangkan Karimun memiliki potensi timah dan bauksit. Cadangan timah di Karimun mencapai 11.360.500 m3, belum lagi granit, pasir darat dan laut.
Batam, yang sejak awal dikembangkan menjadi kawasan industri, perdagangan, alih kapal dan pariwisata, memiliki potensi ekonomi sangat besar. Kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas ini, pernah mencatat rekor pertumbuhan ekonomi di atas ekonomi nasional. Peringkat tiga besar kunjungan turis asing ke Indonesia.
Batam kota bisnis yang menjanjikan. Infrastrukturnya terbilang lengkap dan mewah, dibanding kota lain. Punya 5 pelabuhan terminal umum, 107 terminal khusus, 2 pelabuhan domestik dan 5 pelabuhan internasional serta bandara internasional Hang Nadim yang terus berkembang.
Investasi asing juga terus meningkat. Meski pandemi Covid-19 melanda dunia, investasi asing naik 122,8 persen dari 76 juta US Dolar tahun 2020 menjadi 171 juta US Dolar tahun 2021.
Dari laman Dewan Nasional Kawasan (KEK) Republik Indonesia, di Kepri ada tiga KEK, yakni KEK Batam Aero Technic yang bergerak di bidang industri Maintanance, Repair Overhaul (MRO) pesawat terbang. Harap dicatat, ini yang pertama di Indonesia.
KEK Nongsa yang bergerak di bidang industri digital dan pariwisata. Selain menarik investor asing, Nongsa Digital Park bakal menjadi digital hub Indonesia dan Singapura serta industri startup yang tumbuh makin pesat.
KEK Galang Batang di Pulau Bintan yang mulai beroperasi sejak 2018 lalu, adalah sentra industri pengolahan mineral hasil tambang bauksit dan produk turunannya baik dari refinery maupun dari proses smelter. Total investasinya Rp 36,25 Triliun. ‘’Hanya Provinsi Kepri di Indonesia yang memiliki tiga Kawasan Ekonomi Khusus,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto.
Di tengah geliat perkembangan ekonomi itu, mengapa Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di beberapa kota dan kabupaten, termasuk di Provinsi Kepri sendiri, tidak berkembang dan banyak masalah? Apa yang terjadi di tubuh perusahaan daerah, yang mestinya menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi daerah dan mengisi pundi-pundi kas daerah?
’’Modal Tak Balik, Untung Tak Ada…’’
Semua kabupaten, kota hingga tingkat provinsi di Kepri, memiliki Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Namun, hampir semua BUMD itu bermasalah. Mari kita telisik satu persatu, masalah yang melilit perusahaan pelat merah ini.
Inilah daftar nama perusahaan BUMD di Kepri, berurutan dari tahun berdirinya. PT Pembangunan Kota Batam berdiri 6 Januari 2003. PT Pembangunan Kepri didirikan 28 Juni 2006. PT Bintan Inti Sukses berdiri tanggal 9 Januari 2007. PT Tanjungpinang Makmur Bersama (TMB) yang berdiri tahun 2010.
Berikutnya, PT Karya Karimun Mandiri berdiri tahun 2012 dan tiga lainnya adalah Perusda, BPR Karimun dan PDAM Tirta Mulia. Perusda Anambas Sejahtera didirikan tahun 2012. Di Natuna ada BUMD Perusda Natuna. Serta PT Pembangunan Selingsing Mandiri Kabupaten Lingga, yang berdiri tahun 2013.
Batam yang paling duluan punya BUMD. Di bawah bendera PT Pembangunan Kota Batam. Perusahaan ini didirikan berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Badan Usaha Milik Daerah, yang sudah disetujui DPRD Kota Batam.
BUMD Batam bisa dibilang perusahaan sapu jagad. Bidang usaha perusahaan ini banyak. Mulai dari perdagangan umum, pertambangan, pertanian, pariwisata, kepelabuhanan, transportasi, pembangunan, telekomunikasi, pembangkit listrik, perumahan dan keuangan. Ada sepuluh bidang usaha.
PT Pembangunan Kota Batam, pemegang sahamnya adalah Pemko Batam 90,9 persen dan Koperasi Pegawai Republik Indonesia (KPRI) Sekawan 0,9 persen. Perusahaan ini, berkedudukan di Perum Villa Bukit Indah Blok I Nomor 15 Batam.
Modal awal sebesar Rp2,2 Miliar dari Pemko Batam, ludes ketika BUMD ini terjun ke bisnis sembako. PT Pembangunan Kota Batam hanya bertahan sampai 2004 dan sejak 2005 berhenti beroperasi dan vakum secara keuangan. Ini disampaikan Direktur Utama PT Pembangunan Kota Batam Hari Basuki, saat dengar pendapat di DPRD Batam.
Modal habis tergerus biaya operasional, direksi melakukan terobosan. Caranya, menjalin kerjasama dengan perusahaan lain dan mendapat royalty 10 persen. Kerjasama itu, dalam perdagangan gas dan mendapat pasokan gas dari JOB Pertamina Talisman Jambi Merang 20bbtud, kerjasama dengan PT Inti Daya Latu. Selain itu, ada kerjasama pengolahan limbah B3 dengan PT Adiprotek Envirodunia serta kerjasama dengan PT Tria Talang Emas membangun PLTU batubara 2×60 MW di Kabil.
Sehingga, perseroan telah menyetor deviden dari hasil kerjasama tersebut ke kas daerah Pemko Batam Rp3,4 Mliar dalam kurun waktu 2012 hingga 2016. Serta memiliki aset satu unit ruko yang dijadikan kantor perseroan.
Dalam Perda Nomor 1 Tahun tentang BUMD Kota Batam pasal 12, masa jabatan direksi adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali satu kali masa jabatan atau diberhentikan sebelum masa jabatan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau RUPS Luar Biasa.
Anehnya, Hari Basuki menjadi Direktur Utama PT Pembangunan Kota Batam selama 17 tahun, sampai kemudian BUMD Batam dibekukan aktivitasnya pada April 2021. Kabarnya, selain aset satu unit ruko, masih ada saldo kas dan piutang ke pihak ketiga sebesar 1,5 juta US Dolar. Jika dikonversi dengan kurs hari ini, setara dengan Rp21,373,500,000.
Saat ini, posisi Hari Basuki demisioner, setelah RUPS tanggal 25 Agustus 2018, dan dilakukan seleksi ulang yang diumumkan 13 Desember 2019. Seleksi sebelumnya gagal, lantaran calon yang ada dinilai tidak memenuhi syarat. Mulai dari seleksi administrasi, uji kelayakan kompetensi (UKK) meliputi psikotes, assessment centre, wawancara, presentasi proposal dan wawancara akhir dengan Wali Kota Batam, sebagai pemegang saham.
Mengapa BUMD Kota Batam tidak berkembang seperti daerah lain? Seorang pengusaha Batam yang enggan ditulis namanya dan tahu seluk beluk PT Pembangunan Kota Batam mengatakan, ‘’Stakeholder tidak paham soal bisnis dan terlalu banyak kepentingan politik,’’ katanya.
Ia menyebutkan, laba yang diperoleh BUMD Kota Batam, bukan saham kosong dan participating interest (PI) 10 persen yang hanya berlaku untuk sektor migas seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 37 tahun 2016.
Bagaimana dengan BUMD Provinsi Kepri di bawah bendera PT Pembangunan Kepri? Sejak awal didirikan, pemprov Kepri sudah menggelontorkan dana Rp10 Miliar. Direksinya, langsung tancap gas membentuk sepuluh anak perusahaan. Inilah anak-anak perusahaan itu. PT Kepri Oil Inti Energy, PT Kepri Gas Inti Utama, PT Kepri Malaka Solution, BPR Kepri Batam dan Bintan, PT Kepri Enerflow Envoronment, PT Sin Kepri Logistik, PT Kepri Jasa Angkasa dan PT Pandu Nautica.
Saking bernafsunya, para direksi terbang ke Natuna dengan pesawat carteran dengan tarif 2.000 US Dolar perjam, berencana menggarap binis migas. Komponen biaya yang banyak menyedot kas BUMD ini, membayar gaji 30 orang karyawan, direksi dan komisarisnya. Semua anak perusahaan perlu biaya. Inilah perusahaan yang dari awal, besar pasak daripada tiang!
Cukup? Belum. Meski belum menghasilkan laba, tahun 2008 direksi membuat bisnis plan dan meminta modal Rp28 Miliar. Direksi juga membuat perencanaan hebat berencana mengarap pelabuhan dan membuat PT Bandar Bangun Cemerlang dan membutuhkan suntikan dana Rp460 Miliar. Belakangan, Pemprov dan DPRD Kepri mengucurkan modal tambahan Rp4 Miliar.
Dalam perjalanannya, mendadak Direktur Utama PT Pembangunan Kepri meletakkan jabatan lantaran tergiur menjadi calon legislatif. Padahal, pengurus perseroan harus steril dari politik praktis. Penggantinya, malah masuk penjara lantaran terbukti korupsi Rp1,3 Miliar. PT Pembangunan Kepri juga terbelit utang Rp6 Miliar.
Pengalaman pahit ini, mestinya jadi dasar dilakukan evaluasi total dan special audit, agar tidak terulang lagi. Namun, setiap ganti kepala daerah, lain lagi kebijakannya. Padahal, tidak hanya menggerogoti kas daerah, masalah yang membelit BUMD membuat kepala daerah pening kepala.
Sampai saat ini, PT Pembangunan Kepri, yang jumlah anak perusahaannya bertambah menjadi 17 perusahaan, masih dililit berbagai persoalan. Dari 17 perusahaan, hanya 3 yang aktif. Direkturnya sudah berganti sembilan kali. Jangan-jangan, direksinya beranggapan, makin banyak anak perusahaan, makin banyak peluang dan makin hebat.
Anehnya, meski punya belasan anak perusahaan, kegiatan perusahaan pelat merah ini, menjual air mineral, membuka toko kelontong dan bisnis laundry. Inilah daftar anak perusahaan tambahan BUMD Kepri. Yakni,
PT Kepri Sarana Transportasi, PT Kepri Airlines, PT.Energi Kepri Abadi, PT Kharisma Karyatama Kepri, PT Pembangunan Kepri NWN, PT Sarana Kepulauan Riau, PT Bumiputra Pembangunan Kepri dan PT Bumiputra Kepri Resources.
Bagaimana dengan BUMD Kota Tanjungpinang di bawah bendera PT Tanjungpinang Makmur Bersama ? Meski memiliki usaha penyewaan kios dan mengelola pasar, BUMD kota Tanjungpinang yang beroperasi sejak Maret 2010 ini bisa berlaba. Namun, labanya habis tergerus membayar gaji karyawan. Awalnya, diberi modal Rp1,6 Miliar, lalu dua tahun kemudian, disuntik modal lagi Rp2,5 Miliar.
Masalah yang melilit PT Tanjungpinang Makmur Bersama antara lain, mis manaje-men, kerjasama pembangunan tower dengan pihak ketiga yang tidak transparan, hingga dugaan kasus korupsi. “Sudah sekian tahun kerjasama, modal tak balek, untung tak ada,” kata Lis Darmansyah, wali kota Tanjungpinang saat itu, kepada wartawan.
Pemkab Karimun punya empat BUMD untuk menopang pendapatan daerah. Tapi, pada awal berdiri, mengalami masa-masa suram. Pasalnya, modal yang digelontorkan mencapai Rp9,5 Miliar. Saldo kas di akhir masa jabatan direksi, tinggal Rp2 juta.
Empat BUMD itu, PT Karya Karimun Mandiri (KKM) bidang usaha kepelabuhan (BUP), Perusda bidang usaha pasar dan SPBU Poros, PDAM Tirta Karimun bidang usaha penyediaan air bersih dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Karimun. Namun dari empat BUMD tersebut, baru dua yang telah memberikan kontribusi ke kas daerah. Yakni PT KKM dan Perusda. PDAM Tirta Karimun dan BPR Karimun, masih terbelit utang masa lalu.
Masalah BUMD di Natuna, sama saja. Sejak awal berdiri, setiap tahun disubsidi. Menggarap usaha di bidang penggilingan batu granit, rumput laut, kopra, listrik desa, penyediaan air bersih, parkir hingga menjual gas elpiji. Tahun 2013, dana yang dikucurkan Pemkab Natuna Rp5 Miliar.
Sebagian besar usaha itu, rugi. Kemelut di tubuh Perusda Natuna mencapai puncaknya. Mem-PHK 80 orang karyawan dan terlilit utang Rp4 Miliar. Meski harus menjual aset seperti tanah dan bangunan serta mesin Pembangkit Listrik Tenaga Diesel, tidak mampu menutup hutang tersebut.
Masalah ini belum tuntas, Pemkab Natuna malah berencana mengganti perusda menjadi Perumda Seri Serindit dan menyertakan modal Rp22 Miliar. Padahal, Natuna sebagai daerah penghasil gas, sangat berpeluang mendapatkan participating interest sebesar 10 persen dari kontraktor yang harus mengikutsertakan BUMD di daerah.
Kabupaten Lingga, juga pusing kepala soal BUMD di daerahnya. Padahal, bidang usahanya kecil dan menengah, seperti travel, pertamini, pengolahan sagu dan mie sampai ternak bebek. Perusahaan di bawah bendera PT Pembangunan Selingsing Mandiri ini, berdiri 2013. Tiga tahun kemudian, 2016 stop beroperasi. Baru 2019 jalan lagi dengan usaha air kemasan dan pengolahan tepung ikan.
Ajaibnya, Direktur BUMD Lingga yang dilantik Bupati Lingga saat itu, April 2019 untuk masa jabatan 2019-2024, adalah mantan direktur BUMD Bintan, yang tersangkut kasus korupsi Rp1,7 Miliar saat menjadi direktur PT Bintan Inti Sukses. Padahal, sang direktur sudah menjalani seleksi, dari uji kelayakan dan kepatutan, assessment dan wawancara dengan Bupati. Apakah tim penguji dan Bupati tidak memiliki rekam jejak sang direktur? Saya tidak tahu. Gelap.
Rudi Kecewa, Ansar Gerah
Wali Kota Batam Muhammad Rudi memutuskan membekukan PT Pembangunan Kota Batam. Ia kecewa, lantaran kinerja BUMD Batam tidak efektif dan membebani APBD. Sementara, Gubernur Kepri Ansar Ahmad, gerah dan menilai perusahaan daerah hanya sebagai asesoris belaka.
“Saya hentikan, daripada uang keluar tidak ada hasil. Kita telusuri soal BUMD ini mau kiprahnya seperti apa? Mau ganti orang, sama saja. Yang penting, tujuannya dan kiprahnya apa? Sementara, dinonaktifkan dulu,” kata Rudi, kepada wartawan. Seleksi calon direksi sudah dua kali dilaksanakan, pada April 2019 dan Desember 2019 dan gagal.
‘’Perusahaan daerah jangan hanya jadi aksesoris belaka,’’ kata Ansar Ahmad. Padahal, BUMD bisa menjadi sumber utama pendapatan daerah dan menjadi kekuatan fiskal Kepri. Potensi besar di masa depan, kata Ansar, participating interest (PI) 10 persen dari perusahaan eksplorasi gas dan minyak bumi di Natuna. Ansar berencana, menyisir satu persatu anak perusahaan PT Pembangunan Kepri dan fokus pada perusahaan yang memiliki prospek di masa depan.
Inefisiensi, praktek curang, rasio laba yang rendah terhadap aset, atau return on asset (ROA) menunjukkan kinerja manajemen dan keuangan yang tidak makimal, terjebak dalam pola kerja birokrasi, calon direksi titipan, adalah persoalan yang melilit BUMD di Kepulauan Riau. Silang sengkarut BUMD ini menyebabkan, fungsi BUMD jadi terbalik, menyedot kas daerah.
Lantas, bagaimana solusinya? Sudah saatnya, Ansar Ahmad, Muhammad Rudi, Rahma, Aunur Rafiq, Wan Siswandi, M. Nizar, Abdul Haris dan Roby Kurniawan, duduk bersama mencari solusi mengatasi berbagai masalah yang melilit BUMD di seluruh Kepulauan Riau. Tentu saja, diawali dengan audit secara total yang dilakukan akuntan publik independen.
Sebab, kepala daerahlah yang paling bertanggungjawab terhadap perusahaan pelat merah ini, sebagai pemegang saham mayoritas. Pembahasan bisa dilakukan secara virtual, menghemat biaya dan mengatasi kendala geografis untuk bertemu tatap muka. Jumlah BUMD di seluruh Indonesia saat ini sebanyak 1.149 BUMD. Faktanya adalah, sebanyak 70 persen, kondisinya rugi. Jadi, Kepri tidak usah malu.
Prof Dr Syarif Hidayat MA, Peneliti Utama Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menawarkan solusinya seperti ini. BUMD tidak diswastakan tapi menjadi public private partnership (PPP ) seperti di negara lain.
Selain peneliti utama LIPI, Syarif Hidayat adalah pakar ekonomi politik, otonomi daerah dan politik lokal, mempublikasikan114 karya ilmiah, tim ahli Indeks Demokrasi Indonesia dan dosen pasca sarjana ilmu politik dan administrasi negara Universitas Nasional.
‘’Masalah yang dihadapi BUMN dan BUMD adalah cerita lama. Tidak hanya soal mismanajemen, tapi juga dipolitisasi kroni pejabat, oligarki partai politik, implikasi pilkada sebagai politik balas budi, menjadi sapi perahan pejabat dan partai politik,’’ kata Prof Dr Syarif Hidayat MA
BUMD yang cenderung dikelola tidak benar, kata Syarif Hidayat, penyebabnya sangat komplek. Selain mismanajemen, politisisasi, menjadi ATM pejabat dan aktor politik, dan menjadi pot untuk menyedot uang negara yang notabene adalah uang rakyat.
‘’Sensitivitas masyarakat terhadap BUMD juga rendah dampak maraknya politik uang. Sehingga, terjadi pembiaran begitu lama kondisi BUMD yang morat-marit. Mereka berdalih, ini kan urusan pemerintah, bukan urusan saya,’’ kata Syarif Hidayat. Apalagi, kesadaran kritis masyarakat, kini dibelenggu melalui UU ITE.
Kendati direksi BUMD berasal dari kalangan profesional, mereka menyadari terpilih bukan karena profesionalisme, tapi ada unsur politik balas budi terhadap aktor politik tertentu. Apalagi, jika komisarisnya berasal dari kalangan birokrat, yang tidak memahami seluk beluk dunia usaha. ‘’Yang masih punya idealisme, memilih mengundurkan diri atau keluar. Tapi, kemudian diganti dengan yang masih bisa diajak kompromi,’’ ujar Syarif Hidayat.
Dari hasil penelitian mahasiswanya, di beberapa daerah ditemukan fakta, ada kepentingan kepala daerah dengan modus memperjuangkan alokasi anggaran dengan alasan kepentingan masyarakat. Ternyata, dari hasil audit, tidak hanya dana BUMD, termasuk pinjaman dari pihak ketiga, untuk modal Pilkada periode kedua.
Menurut Syarif Hidayat, khittah BUMD adalah layanan publik, bukan mencari keuntungan. ‘’Beberapa negara seperti Kanada, Selandia Baru dan Thailand memilih menjadikan BUMD sebagai Public Private Partner (PPP). Ada komisi independen yang mengawasi kinerja BUMD dari kalangan profesional yang mengevaluasi dari perencanaan, audit keuangan dan kinerja manajemen. Di Indonesia, ini belum ada karena tidak menguntungkan untuk oligarki kapitalis dan partai politik,’’ paparnya.
Berbeda dengan BUMN yang memiliki payung hukum Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, BUMD masih mengacu pada Undang-undang Nomor 5 tahun 1962 tentang perusahaan daerah. Dalam Undang-undang yang sudah berlaku selama 59 tahun ini, berdasarkan manifesto politik dan ekonomi terpimpin. Undang-undang ini, ditandatangani oleh Presiden RI pertama, Ir Soekarno, tanggal 14 Februari 1962.
Pengelolaan BUMD saat ini berdasarkan UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemda, dengan tata kelola perusahaan yang baik. Namun, belum ada peraturan pemerintah yang lebih spesifik. BUMD yang berbentuk perseroan, tunduk pada UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Adakah BUMD di Kepri yang kinerjanya baik dan berprestasi? Jawabannya ada. Namanya PT Bank Pembangunan Riau Kepri, yang bulan lalu dapat penghargaan excellent Info Bank Award 2021 dan Top BUMD bintang empat.
Bank milik pemerintah Provinsi Kepri dan Riau dan seluruh kabupaten dan kota di dua propinsi ini, asetnya Rp30 Triliun. Bank Riau Kepri sedang mempersiapkan diri dikonvensi menjadi bank umum syariah. Unit usaha syariah bank ini, akhir tahun 2020 tumbuh 68,77 persen, dan labanya tumbuh 133 persen, dibanding tahun sebelumnya. Dengan nilai aset dan pertumbuhan seperti itu, jika Bank Riau Kepri menjadi bank umum syariah, akan lansung melesat menjadi bank syariah terbesar ketiga di Indonesia.
Namun, struktur kepemilikan Bank Riau Kepri per Desember 2019, komposisi saham jauh lebih besar dimiliki Pemprov Riau dibandingkan Pemprov Kepri. Pemprov Riau 38,71 persen, Pemprov Kepri 1,11 persen, gabungan pemko dan pemkab Riau dan Kepri 59,90 persen dan koperasi Amanah Riau Kepri 0,28 persen.
Secara total, Pemprov Riau menguasai 84,52 persen saham Bank Riau Kepri, dengan 12 kabupaten dan kota. Sementara, Pemprov Kepri dengan 8 kabupaten dan kota total sahamnya 15,18 persen. Mungkin itu sebabnya, tidak satupun direksi dan komisaris Bank Riau Kepri dari Kepulauan Riau.
Bank Riau Kepri tahun 2021 ini, menyetor deviden Rp106 Miliar, perusahaan daerah yang paling besar menyetor deviden ke Pemprov Riau dan Pemprov Kepri sebagai pemegang sahamnya. Bisa ditebak, Pemprov Kepri dan seluruh kabupaten kota dapat bagian berapa. Saya pernah bertanya kepada Dahlan Iskan, apa kesulitannya membangun dan mendirikan begitu banyak perusahaan. Jawaban mantan Menteri BUMN itu adalah, memilih siapa orangnya. Kalau orang itu bagus, ditempatkan dimana saja, tetap bagus. Begitu juga sebaliknya. ***