24.8 C
Indonesia
BerandaBATAMRempang, Tanah Harapan yang Jadi Incaran (3)

Rempang, Tanah Harapan yang Jadi Incaran (3)

-

By Socrates – Rempang berasal dari kata empang. Empang diartikan menghambat arus. Hal ini didasarkan kondisi letak Rempang yang merentang panjang menghambat arus dari sejumlah selat di kawasan Kepulauan Riau. Orang-orang yang mendiami Pulau Rempang, Pulau Galang dan pulau-pulau sekitarnya, seperti Pulau Karas, Pulau Galang, Pulau Panjang dan Pulau Abang dan lainnya dikenal dengan Orang Melayu Galang.

Demikian ditulis dalam makalah Dedi Arman, peneliti Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) lembaga penelitian yang fokus pada kajian-kajian kewilayahan dan hubungan internasional untuk memperkuat diplomasi Indonesia. Pusat riset ini melakukan penelitian tentang berbagai topik yang berkaitan dengan wilayah, seperti studi wilayah, perubahan iklim, dan kajian masyarakat serta budaya di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara.

Daud Kadir dkk (1980), Orang Galang adalah Orang Laut yang sudah menetap. Meskipun kemudian Orang Galang keberatan disebut Orang Laut. Mereka menyebut mereka Orang Melayu asli yang sudah memiliki peradaban dan status sosial yang tinggi sejak Zaman Kesultanan Riau Lingga Johor Pahang.

Bahasa yang dipakai mereka adalah Melayu Galang yang pemakainya ada di Pulau Rempang, Galang, Karas, dan Pulau Panjang. Penuturnya 6 ribu orang tahun 1970-an. Bahasa Melayu Galang ada empat varian, yakni Dialek Galang, Dialek Rempang, Dialek Karas dan Dialek Pulau Panjang.

Sumber-sumber Belanda banyak menyebut nama Rempang pada Abad ke 19. Misal catatan Elisha Netscher ‘Beschrijving van Een  Gedeelte Der Residentie Riouw (1854)’. Di Sembulang, Pulau Rempang sudah ada bangsal pengolahan gambir.  Di Rempang, Netscher menemukan perkampungan yang ramai. Ada perkebunan sahang (lada). Selain Melayu, di Rempang juga ada Orang Tionghoa dan Orang Darat.

Tahun 1861, Yang Dipertuan Muda (YDM)  Riau X, Raja Muhammad Yusuf atas nama Sultan Riau Lingga dan disetujui Residen Belanda di Tanjungpinang mengeluarkan plakat, memberikan izin kepada tauke Tionghoa untuk membuka ladang gambir di Pulau Cembul, Pulau Bulang dan wilayah lain di Batam.

Cerita lain yang menarik adalah  di Perairan Galang pada tanggal 28 Juni 1837, lanun menyerang kapal perang Inggris yang bernama Andromache yang dipimpin oleh Kapten H.D. Chods. Aksi lanun dapat digagalkan. Ternyata lanun itu atas perintah Raja Abdul Rahman, putra Raja Idris atau Putra Raja Haji Fisabilillah.

Sumber-sumber tertulis Belanda memang banyak menyebut kejadian abad 19 tapi bukan berarti Pulau Rempang dan Pulau Galang baru didiami abad ke-19.  Pulau Bulang di kawasan Batam, tak jauh dari Rempang tahun 1722-1818 pernah menjadi pusat kekuasaan Temenggung Riau Lingga (Diawali Temenggung Abdul Jamal) yang pindah dari Riau ke sana.

Luas Pulau Rempang 16. 583 hektar.  Secara administrasi masuk kecamatan Galang. Ada dua kelurahan: Rempang Cate dan Sembulang.  Jumlah penduduk di dua kelurahan 7.512 jiwa. Data Monografi Kelurahan Rempang Cate 2020, jumlah penduduk 3503 jiwa. Ada 4 RW dan 14 RT.

Wilayah Rempang zaman Kesultanan Riau Lingga berada kekuasaan Raja Isa (Nong Isa) Penguasa Nongsa dan Rantau yang ditunjuk Sultan Abdulraman tahun 1829. Pasca bubarnya Kesultanan Riau Lingga tahun 1913, seluruh daerah Riau-Lingga termasuk Rempangtunduk di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Rempang dibawah Amir Batam yang berpusat di Pulau Buluh.

Pasca Indonesia merdeka, wilayah Rempang-Galang masuk dalam wilayah Kecamatan Bintan Selatan, Kabupaten Kepulauan Riau. Desanya bernama Desa Rempang. Tahun 1993 penduduknya 1.643 jiwa. Saat terbentuknya Kotamadya Batam tahun 1999, wilayah Rempang-Galang bergabung dan berpisah dari Kabupaten Kepri.

Tesis Susetyo (2013) di UGM menunjukkan pembangunan jaringan jalan dan jembatan yang menghubungkan Pulau Rempang dengan pusat kegiatan di Pulau Batam dan daerah hinterland sekitarnya meningkatkan aksesibilitas ke dalam kawasan hutan dan menyebabkan perubahan lahan hutan menjadi berbagai bentuk lahan pertanian, pemukiman, fasilitas umum, pemerintahan, perdagangan dan jasa.

Pembangunan 6 Jembatan yang menghubungkan Batam ke Galang Baru (1998) membawa perubahan besar bagi perkembangan Pulau Rempang secara fisik. Termasuk penguasaan lahan yang dikuasai tauke tauke untuk dikembangkan jadi bisnis peternakan ayam, pertanian, hingga pengembangan wisata.  Pulau Rempang jadi andalan Batam penghasil pertanian dan peternakan ayam.

Ada dua kelompok masyarakat yang mendiami Pulau Rempang masa kini. Pertama, masyarakat lokal dan masyarakat yang mendiami Pulau Rempang turun temurun, yakni Orang Melayu Galang, Orang Darat dan Orang Laut. Kedua, penduduk pendatang.

Mereka membeli lahan dari masyarakat lokal.  Biasanya dilegalkan oleh perangkat desa-kelurahan dan tokoh-tokoh. Penguasaan lahan di Pulau Rempang sejak 1998 berlangsung gila-gilaan. Lahan dipatok para cukong kemudian diberi nama perusahaan, nama organisasi atau nama pribadi.

Inilah lini masa Pulau Rempang, dari berbagai sumber :

Tahun 1720

Penduduk Pulau Rempang, Galang, dan Bulang adalah keturunan prajurit-prajurit atau  Laskar Kesultanan Riau Lingga pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I.

Tahun 1722

Pusat pemerintahan Kesultanan Riau-Lingga berpindah dari Hulu Riau (Tanjungpinang) ke Pulau Bulang yang terletak di antara Pulau Batam dan Rempang.

Tahun 1782–1784

Terjadi Perang Riau I melawan Belanda, laskar tersebut menjadi prajurit Raja Haji Fisabilillah, kakek dari Raja Ali Haji.

Tahun 1784–1787

Terjadi Perang Riau II, juga melawan Belanda, laskar tersebut menjadi prajurit yang dipimpin oleh Sultan Mahmud Riayat Syah, yang lebih dikenal dengan Sultan Mahmud Syah III, yakni Sultan dan Yang di-Pertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke-15 yang memerintah pada 1770—1811

Tahun 1787

Sultan Mahmud Riayat Syah memindahkan pusat pemerintahan ke Daik-Lingga, sedangkan Pulau Rempang, Galang, dan Bulang menjadi basis pertahanan terbesar dari Kesultanan Riau Lingga yang dipimpin oleh Tengku Muda Muhammad dan Panglima Raman

Tahun 1829

Sultan Riau-Lingga yakni Sultan Abdul Rahman memberikan kekuasaan kepada Raja Isa (Nong Isa) untuk memimpin Nongsa yang meliputi Pulau Batam, Galang, Rempang, dan sekitarnya. Raja Isa ini adalah anak sulung dari Yang Dipertuan Muda Riau ke-5, Raja Ali bin Daeng Kamboja

Tahun 1831

Raja Isa wafat dan administrasi Batam dan pulau-pulau sekitarnya dipecah menjadi tiga yang masing-masing dipimpin seorang amir atau kepala

Tahun 1837

Penjajah Inggris yang berkuasa di Singapura, Samuel George Bonham (Tuan Bonam), menyerang Pulau Galang dengan kapal Andaramaki (Andromache), masyarakat Galang pun melawan.

Tahun 1930

Jumlah Orang Darat, penduduk asli Batam, kulitnya lebih gelap dari orang Melayu hanya sekitar 36 jiwa. Namun, kondisi Orang Darat (Orang Hutan) di Batam makin punah atau tersisih. Pada 2014 lalu, jumlahnya sekitar delapan kepala keluarga (KK).

Tahun 1971

Lahirlah Otorita Batam (nama lama BP Batam) dan mulai membangun Batam, pada saat itu di Pulau Rempang sudah ada istilah “kampung tua” yang telah didiami masyarakat Rempang sejak ratusan tahun lamanya, bahkan sebelum Indonesia merdeka.

Tahun 1973

Keputusan Presiden (Keppres) 41/1973 terkait legalitas hukum dan otorisasi pengelolaan lahan Batam dan Pulau Rempang. Hak pengelolaan atas lahan Batam diberikan pada otoritas Batam (BP Batam) sepenuhnya untuk dibagikan pada pihak ketiga yang berperan mengelola tanah tersebut secara lebih lanjut. Pihak tersebut nantinya diwajibkan membayar hak guna lahan tersebut kepada pemerintah.

Tahun 1992

Terbit Keputusan Presiden (Keppres) 28/1992, yang di antaranya menetapkan Pulau Rempang masuk dalam wilayah Kota Batam. Saat itu, pemerintah melakukan penambahan wilayah kawasan industri Pulau Batam sehingga kegiatan usaha di Pulau Batam pasti meningkat, tetapi ada keterbatasan daya dukung. Kemudian, Pemerintah memberikan wilayah Rempang dan Galang pada Otorita Batam untuk dikelola dan memajukan industri Batam sehingga masuklah Pulau Galang dan Rempang dengan status kawasan berikat.

Tahun 2001 – 2002

Pemerintah memberikan kewenangan berupa Hak Guna Usaha (HGU) pada sebuah perusahaan atas tanah Batam. Namun, hingga sebelum konflik terjadi, tanah tersebut tidak pernah dikunjungi atau dikelola oleh investor. Berdasarkan UU 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), hak atas lahan seharusnya dicabut oleh pemerintah jika diketahui tanah itu ditelantarkan selama 19 tahun.

Tahun 2004

Masuklah PT. Makmur Elok Graha (MEG) dengan rekomendasi dari DPRD Batam bahwa PT ini dapat melakukan tindakan pengembangan di wilayah Batam. Dari rekomendasi ini, ada nota kesepakatan bahwa Pemerintah Batam menyetujui PT. MEG mengelola wilayah-wilayah di Batam, termasuk Rempang, berupa pembangunan pusat-pusat hiburan, perkantoran, dan permainan, yang berbeda dengan wacana sekarang (Rempang Eco City)

Tahun 2023

Terbit Permenko Perekonomian 7/2023 yang mengalokasikan Pulau Rempang menjadi lokasi Proyek Strategis Nasional (PSN) dengan nama Rempang Eco City, yang ironisnya makin mempersulit masyarakat adat. Proyek strategis nasional itu sendiri bakal dikerjakan PT MEG, anak perusahaan milik Tomy Winata, yang ditargetkan bisa menarik investasi sekitar Rp381 triliun hingga 2080, serta 30 ribu tenaga kerja. PT MEG menggandeng perusahaan asal China, Xinyi International Investment Limited. Perusahaan ini berencana membangun fasilitas hilirisasi pasir kuarsa dan ekosistem rantai pasok industri kaca.

7 September 2023

Terjadi penggunaan kekerasan berlebihan oleh gabungan aparat dan penggunaan gas air mata terhadap penduduk asli Pulau Rempang, melakukan demonstrasi menolak direlokasi untuk proyek tersebut karena beralasan rencana proyek merugikan mereka dan menyebabkan mereka terusir dari tanah leluhurnya. (bersambung)

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

LATEST POSTS

Politeknik Negeri Batam

By Socrates - Tuntutan dunia industri semakin tinggi, terutama soal ketersediaan sumber daya manusia. Tahun 1999 menandai dimulainya persiapan pendirian Politeknik di Batam bekerjasama dengan...

Universitas Ibnu Sina (UIS)

By Socrates - Yayasan Pendidikan Ibnu Sina (YAPIS) didirikan pada tanggal 14 Juli 1977 yang bergerak dalam bidang pendidikan. Yayasan ini didirikan oleh H Andi...

Universitas Riau Kepulauan (Unrika)

By Socrates - Batam sejak awal dirancang sebagai kawasan industri, perdagangan, alih kapal  dan pariwisata. Namun, seiring perkembangan zaman, kebutuhan sumber daya manusia yang handal...

Belakangpadang Penawar Rindu

By Socrates - Banyak yang percaya, nama Belakangpadang berasal saat  Belanda memerintahkan pekerja di pangkalan minyak Pulau Sambu, membuka pulau yang terletak di belakang Pulau...
[td_block_social_counter style="style8 td-social-boxed td-social-font-icons" facebook="tagdiv" twitter="tagdivofficial" youtube="tagdiv" custom_title="Follow us" block_template_id="td_block_template_11" border_color="#fbb03b" f_header_font_size="eyJhbGwiOiIyMCIsInBvcnRyYWl0IjoiMTgifQ==" f_header_font_weight="600" f_header_font_family="702" f_header_font_transform="uppercase" tdc_css="eyJwb3J0cmFpdCI6eyJkaXNwbGF5IjoiIn0sInBvcnRyYWl0X21heF93aWR0aCI6MTAxOCwicG9ydHJhaXRfbWluX3dpZHRoIjo3NjgsInBob25lIjp7Im1hcmdpbi1ib3R0b20iOiI0MCIsImRpc3BsYXkiOiIifSwicGhvbmVfbWF4X3dpZHRoIjo3NjcsImFsbCI6eyJtYXJnaW4tYm90dG9tIjoiMzAiLCJkaXNwbGF5IjoiIn19"]

Most Popular

spot_img